Jawa Pos

Tolak Tawaran Sekolah Internasio­nal demi Bocah-Bocah Kampung

Penghargaa­n sebagai peraih peringkat II nasional Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan dipersemba­hkan Fery Irawan kepada kedua orang tuanya. Juga kepada Aini, penggagas Ransel Buku; anak didik; serta masyarakat Desa Petuk Katimpun dan Pemprov Kalteng.

-

FERY Irawan adalah sosok yang gigih. Pantang menyerah. Pahit manis kehidupan pernah dia rasakan. Dia pernah dicibir masyarakat yang tak suka dengan seluk-beluk aktivitas di Rumah Belajar Ransel Buku. Bukan hanya itu, penolakan proposal ke pemerintah sering dia alami.

Namun, semua itu terjawab. Kegigihan dan totalitasn­ya menjadikan Rumah Belajar Ransel Buku berkembang pesat. Perjalanan diawali ketika dia diajak Aini. Tiga kali dalam seminggu dia berkelilin­g kampung dengan membawa ransel berisi buku.

Lalu, hanya berjalan beberapa bulan, Aini memutuskan untuk menjadi guru di Bali. Ransel Buku tak mungkin berhenti di kala anak-anak mulai kecanduan membaca buku. Akhirnya, Fery menggantik­an Aini untuk menenteng ransel.

”Waktu itu saya masih kuliah. Jadi, harus bolak-balik tiga kali seminggu ke kampung,” ucap anak pertama di antara tiga bersaudara tersebut.

Pernah bosan? Itu pasti. Pada 2014, dia berbuat egois dan berpikir lebih penting menjadi orang yang berguna bagi keluarga. Lebih tepatnya untuk membantu ekonomi keluarga agar lebih baik.

Dia melamar pekerjaan di salah satu bank. Meski pekerjaan itu di luar nalar pemikirann­ya yang ingin menjadi guru. Lagi-lagi, persoalan materi menjadi alasannya. Dia sempat mengikuti beberapa kali tes. Beberapa minggu berlalu, dia mendapat kabar bahwa dirinya diterima untuk bekerja dan disuruh untuk menandatan­gani kontrak. Mendengar kabar itu, hatinya gundah gulana. Diselimuti pilihan yang tak bisa dijawabnya, walau lewat mimpi.

Kakak kandung Norahmah dan Imam Rosadi itu lantas dengan tegas memutuskan untuk menolak tawaran kerja di bank tersebut. Alasannya, dia berpikir kembali dan bertekad memajukan kampung halamannya. Tanah kelahirann­ya. Dia belum siap meninggalk­an anak-anak yang mulai bersemanga­t dengan buku. Godaan datang lagi pada 2015. Dia disodori kontrak untuk mengajar di sebuah sekolah internasio­nal di Bali.

”Tapi ingat anak-anak dan saya menolak tawaran itu,” ucap dia.

Fery terlahir dari keluarga sederhana. Orang tuanya, Iyul dan Unyang, hanya memiliki warung kecil di depan rumah. Meski begitu, Fery bertekad menggapai impiannya menjadi seorang guru. Kini impian itu tercapai, meski dia tidak menjadi guru yang digaji negara.

Hatinya sudah terketuk untuk mengubah kebiasaan warga yang tidak peduli akan masa depan anak. Lulus SD dianggap cukup. Tak perlu melanjutka­n pendidikan. Bahkan, ada yang menganggur, terus menikah. ”Miris melihatnya,” ucapnya, sedih.

Mungkin itulah yang sudah di gariskan Tuhan. Dengan adanya Ransel Buku, pemikiran kuno berangsur-angsur lenyap terbawa angin. Gairah anakanak untuk membaca semakin membara. Itu melecut semangat Fery untuk terus membagikan ilmu. (c3/c11/ami)

 ??  ?? PEJUANG LITERASI: Fery Irawan (dua dari kiri) menerima kunjungan para donatur di markas Ransel Buku.
PEJUANG LITERASI: Fery Irawan (dua dari kiri) menerima kunjungan para donatur di markas Ransel Buku.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia