Sekolah-Wali Murid Sepakat Berdamai
SURABAYA – Kasus kekerasan guru terhadap siswa di SMPN 55 berakhir damai. Kemarin (16/11) sekolah dan wali murid sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan. Kedua pihak saling meminta maaf
Sebelumnya, kekerasan guru kepada AR, 14, salah seorang siswi SMPN 55, terjadi pada Rabu (15/11). Saat itu NNK yang mengajar IPA mendapati AR melanggar peraturan sekolah. Yakni membawa HP di kelas. Saat itu NNK menanyakan kepada AR apakah dirinya membawa HP di dalam tas. Pertanyaan tersebut semula sempat dibantah AR yang mengaku tidak membawa HP. Namun, setelah tas sekolahnya diperiksa NNK, ternyata memang AR membawa sebuah HP. ’’Nah, mungkin karena NNK terbawa emosi, dia lantas napuk (menampar, Red) mulut AR,’’ ujar Pelaksana Harian Kepala SMPN 55 Chamim Rosyidi Irsyad kepada Jawa Pos.
Perihal kejadian tersebut, Chamim mengatakan, pihak sekolah sudah melakukan mediasi dengan Arifin, ayah AR. Mediasi dimulai pukul 06.25. Saat itu Chamim mengawalinya dengan berdiskusi bersama Arifin. Mediasi kemudian berlanjut dan dihadiri AR, Arifin, NNK, Wakasek, serta guru bimbingan dan konseling (BK) SMPN 55 pada pukul 07.30. ’’Dari pertemuan itu, kami sepakat untuk saling meminta maaf,’’ terang Chamim.
NNK sudah menyampaikan permintaan maaf kepada AR dan Arifin. Permintaan maaf juga dilontarkan Arifin kepada NNK yang sudah dilaporkan ke DPRD Kota Surabaya.
Melalui kejadian tersebut, Chamim berjanji tidak melakukan kekerasan fisik kepada siswa selama pembelajaran. Ke depan, upaya pendisiplinan siswa dibuat lebih persuasif dan mendidik.
Untuk AR, saat ini sekolah juga akan melakukan rehabilitasi. Guru BK dan psikolog dilibatkan dalam proses itu. Harapannya, dia tidak terdiskriminasi dan bisa mengikuti pelajaran sebagaimana biasa. ’’Kami akan bimbing seluruh siswa SMPN 55 yang membutuhkan bimbingan intens,’’ jelasnya.
Ditemui secara terpisah, Arifin juga menyatakan telah meminta maaf ke SMPN 55 perihal tindakannya melaporkan kekerasan yang menimpa anaknya ke DPRD Kota Surabaya. Dia mengaku terbawa emosi ketika tahu anaknya mendapat tindak kekerasan dari NNK, guru IPA di SMPN 55.
Saat itu Arifin mengetahui putrinya, AR, tiba-tiba menangis saat dijemput di depan kelas. Sambil terisak, AR mengungkapkan bahwa dirinya baru saja ditampar NNK karena ketahuan membawa HP. ’’Saat itu saya terbawa emosi. Saya langsung melaporkan kejadian itu ke DPRD,’’ tuturnya.
Arifin berharap kekerasan fisik yang menimpa anaknya merupakan yang terakhir. Semoga nanti tidak ada guru yang main pukul dengan dalih meningkatkan kedisiplinan. ’’Ini demi kebaikan SMPN 55 juga,’’ terangnya.
Saat ditanya mengenai kelanjutan kasus tersebut, Arifin mengatakan bahwa permasalahan yang menimpa putrinya sudah selesai. Dia pun telah melupakan kejadian tersebut. Upaya mediasi sekolah, menurut dia, sudah cukup.
Anggota Dewan Pendidikan Surabaya (DPS) Didik Yudhi Ranu Prasetyo menyampaikan, kekera san yang dilakukan sekolah seharusnya sudah tidak terjadi. Kekerasan fisik untuk mendisiplinkan siswa bukan solusi yang tepat.
Dia menyarankan, solusi pendisiplinan siswa seharusnya dibuat lebih positif. Bukan main tampar yang membuat siswa trauma.
Bentuk peningkatan kedisiplinan tersebut bisa dilakukan dengan pemberian tugas. Misalnya, siswa yang melanggar aturan harus selesai membaca lima buku dalam sebulan. Atau, siswa disuruh menghafal berapa puluh kosakata bahasa Inggris.
Melalui pola semacam itu, wawasan siswa akan bertambah. Konsep tersebut juga membuat siswa lebih tangguh dalam menghadapi tantangan. Tidak mudah menyerah dan selalu bersikap positif.
Selain siswa, penanganan tindak kekerasan di sekolah harus dipahami dari kacamata guru. Artinya, sekolah harus merancang metode apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres pada guru. (elo/c19/git)