Dilakukan Keluarga, Dirasa Meresahkan
Kasus Pasung Penderita Gangguan Jiwa Kembali Marak
GRESIK – Nasib Abdul Wahab memprihatinkan. Warga Desa Wates Tanjung, Kecamatan Wringinanom, itu dirantai oleh anak kandungnya di belakang rumah. Dia ditempatkan di gubuk yang terbuat dari terpal. Letaknya tepat di bawah pohon bambu.
Setiap hari Abdul Wahab melakukan aktivitas di gubuk berukuran 2 x 3 meter itu. Bangunan tidak permanen tersebut terbuka. Angin kencang dengan mudah menerobos masuk. Berada di tempat yang sempit, lelaki 60 tahun itu tidak bisa bergerak bebas. Rantai sepanjang 2 meter mengikat kaki kanannya. Siapa yang melakukan? ”Saya, Mas. Baru dua bulan kok,” ujar Rofiqoh, anak kandung Abdul Wahab.
Rofiqoh sempat enggan memberikan komentar terkait kondisi ayahnya. Dia hanya menjelaskan bahwa Abdul Wahab dianggap meresahkan oleh tetangganya. Dia malu dengan kelakuan ayahnya. ”Suka masuk rumah orang dan mengambil barangnya,” katanya.
Banyak warga yang kesal. Rofiqoh pun kerap ditegur. Dia tidak tahan dengan omongan miring tentang ayahnya. Itulah alasannya merantai sang ayah di belakang rumah. ”Sudah pernah diperiksakan, tapi kambuh lagi,” terangnya.
Bukan hanya Abdul Wahab. Suyanto yang juga warga Desa Wates Tanjung bernasib sama. Pemuda 23 tahun itu dipasung keluarganya. ”Sering mengamuk dan bikin onar,” ucap Kasmirah, ibu Suyanto.
Suyanto dikurung di dalam rumah. Bungsu di antara tiga bersaudara itu dibuatkan kamar di tengah-tengah dapur. Luasnya hanya 2,5 meter persegi. Bangunan berbahan bata tersebut memiliki pintu jeruji besi. Benarbenar menyerupai sel tahanan.
Setiap hari Suyanto menghabiskan waktu di dalam ruangan yang lembap itu. Lantai yang dingin menjadi alas tidurnya. Tidak ada kasur maupun bantal. Dia hanya ditemani sehelai kain sarung usang. Untuk makan, Kasmirah memberikannya lewat pintu jeruji besi. Suyanto hampir tidak pernah keluar. ”Dulu pernah keluar, tapi hilang sembilan hari dan ditemukan warga,” kata Kasmirah.
Perempuan 56 tahun itu mengaku pernah membawa Suyanto ke RSJ Lawang, Malang. Tiga bulan dirawat, Suyanto diperbolehkan pulang. Namun, gangguan jiwanya kumat lagi. Keluarga memutuskan membawanya lagi ke RSJ Lawang. Suyanto dirawat satu bulan penuh. Setelah dinyatakan membaik, Suyanto dipulangkan. ”Seminggu di rumah kambuh lagi. Suka marah-marah. Akhirnya, ya seperti ini (dipasung, Red),” papar Kasmirah.
Petugas jiwa Puskesmas Kesamben Kulon, Kecamatan Wringinanom, Sulistiyati mengatakan, dua orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) itu masih labil. Emosinya kerap tidak terkontrol. Kae=rena itulah, keluarga terpaksa memasung mereka. Sulis menambahkan, pemasungan ODGJ dilarang dan dinilai tidak manusiawi. Ada cara lain yang bisa dilakukan. ”Pasien (jiwa, Red) itu bisa diobati,” tuturnya.
Selama ini puskesmas sudah melakukan pendekatan persuasif. Tujuannya memberikan pemahaman kepada keluarga. ”Memang kendalanya dari pihak keluarga. Harus telaten,” jelasnya.
Masalah pemasungan ODGJ, tambah Sulis, sejatinya bukan hal baru di Desa Wates Tanjung. Sebelumnya, pernah ada kasus pemasungan yang dialami Siti Aminah. Namun, perempuan 27 tahun itu dibebaskan setelah 10 tahun dipasung. Dia kini menjalani hidup normal bersama ibu dan saudaranya. ” Tapi, tetap kontrol rutin sampai sekarang,” lanjut Sulis.
Artinya, masih ada harapan bagi ODGJ untuk sembuh. Salah satunya melalui penanganan medis. Pasung bukanlah solusi. ”Diberikan suntikan secara berkala,” tegasnya. ( adi/c6/dio)