Jawa Pos

Merasa Sukses saat Bikin Mahasiswa Paham

-

Meskipun demikian, Diah sempat tak percaya. Dia pun lantas mengabaika­n pesan tersebut. Apalagi ketika rekannya mewanti-wanti Diah untuk waspada. ”Janganjang­an itu hoax, penipuan,” ujarnya, menirukan rekannya.

Diah mulai setengah percaya pada saran itu. Dia sempat berpikir bahwa lembaga tersebut meminta keuntungan. Selain itu, Diah khawatir jika lembaga tersebut abal-abal. Semua pikiran buruknya bercampur aduk saat itu.

Setelah tiga hari berpikir, Diah membaca ulang pesan tersebut. Mencermati­nya lagi. Rupanya, isi surel itu sudah lengkap. Tidak ada pungutan biaya. Bahkan, proses seleksi yang diam- diam tersebut juga tertulis di situ.

”Mereka memilih secara diamdiam dengan mengamati kiprah para calon penerima,” jelasnya. Bahkan, dalam surel itu tertulis pula deretan nama para juri yang berperan. Sekaligus kriteria para penerima penghargaa­n yang tengah dicari.

Rupanya, sosok yang dicari adalah mereka yang mampu membuat perubahan. Terutama mereka yang bergelut di bidang pendidikan seperti Diah.

Barulah Diah memutuskan untuk menerima penghargaa­n itu. ” Why not? Orang asing mengapresi­asi kinerja kita, kenapa justru malah curiga?” ungkapnya. Lagi pula, lanjut Diah, apresiasi itu sekaligus niat baik orang lain. Menurut dia, apresiasi tersebut tak pantas untuk diabaikan.

Akhirnya, perempuan kelahiran 5 April 1970 itu menerima penghargaa­n tersebut. Sayang, dia tidak bisa hadir pada momen penghargaa­n yang berlangsun­g pada 4 November itu. Maklum, kesibukan Diah memaksanya tidak datang ke Jakarta, lokasi penyerahan penghargaa­n. ”Terlalu mepet dan saya ada jadwal nguji,” ungkapnya.

Diah mengaku menyesal karena tak dapat hadir langsung. Keponakann­ya, Gitanjali Prahasto, yang mewakiliny­a. Karena itu, Diah tak bisa bertanya langsung alasan di balik penghargaa­n tersebut.

Apa pun alasannya, dia tetap bersyukur. Bagi dia, penghargaa­n adalah apresiasi dari orang lain. Meskipun, lanjut dia, itu hanya butiran kecil target hidupnya. Sebab, bagi peraih gelar PhD dari University of New South Wales, Sydney, Australia, tersebut, yang terpenting adalah berkarya. Penghargaa­n hanyalah bonus.

Ya, Diah selama ini sibuk meneliti kesetaraan gender. Anak bontot di antara enam bersaudara itu sangat aktif mengungkap peran para penulis perempuan. Khususnya perempuan Islam.

Bagi Diah, menarik ketika mengamati bagaimana agama menafsirka­n peran perempuan. Sebab, menurut dia, agama sering kali dijadikan tabir untuk menghalang­i kiprah perempuan. ”Nah, ternyata itu bergantung interpreta­si kita,” ungkapnya.

Setelah mempelajar­i itu dalam disertasin­ya, Diah menemukan hal menarik. Dia mengatakan bahwa Islam telah mengajarka­n dua hal. Yakni keadilan dan kesetaraan. Itulah yang membuat dia yakin bahwa Islam tidak pernah membedakan gender. Apalagi menghalagi perempuan.

Lalu, untuk menguatkan temuannya, Diah mempelajar­i bagaimana penulis perempuan Islam me- maknai perempuan. Ada beberapa penulis lintas generasi yang diamatinya. Mulai Abidah El Khalieqy, Ratna Indraswari, Titis Retnoningr­um Basino hingga Helvy Tiana Rosa.

Rupanya, kesemuanya hampir sama. Para penulis itu, lanjut Diah, menggambar­kan peran besar perempuan. Utamanya melalui pendidikan. ”Kuncinya adalah pendidikan itu,” ungkap penggemar RA Kartini tersebut.

Penelitian­nya itu tak hanya berakhir sebagai disertasi. Diah lantas membukukan­nya. Tak tanggung- tanggung, buku tersebut diterbitka­n Amsterdam University Press pada 2009.

Rupanya, buku yang berjudul Reading Contempora­ry Indonesian Muslim Women Writers: Representa­tion, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian Fiction itu laris di banyak negara. Bahkan telah hadir di 1.100 perpustaka­an di seluruh dunia.

Diah sempat tak menyangka hal tersebut. Hingga James Armstrong, salah seorang pegawai US Library Congress, mengabarin­ya langsung. Dalam surel, James mengapresi­asi buku Diah dan mengatakan bahwa buku tersebut sangat diminati. ”US Library Congress memang punya koneksi ke perpustaka­an di seluruh dunia,” terang Diah.

Diah lantas teringat saat masih mengejar gelar master di University of Northern Iowa, AS. Semua buku langka yang dia cari akan mudah ditemukan di US Library Congress. Apalagi, Diah mengaku paling doyan membaca buku.

Rupanya, pengalaman berkuliah di AS juga titik awal ketertarik­annya pada feminisme. Saat itu, pada 1997, Diah aktif dalam komunitas muslim di Amerika. Sayang, meskipun banyak ambil bagian, namanya tak pernah diapresias­i. Hanya karena dia perempuan.

Padahal, Diah pernah membantu menyuksesk­an sebuah acara seminar. Dia dan beberapa perempuan bertugas membuat spanduk. ” Tapi, pas di depan, kami tidak disebut. Anggota pria yang diapresias­i,” katanya.

Dari sana, Diah mulai penasaran. Sebuah tanda tanya besar terus dipikirkan­nya. Padahal, saat menempuh studi master, Diah mengambil topik sastra pada masa pascakolon­ialisme.

Barulah pada studi S-3, Diah memperdala­m topik kesetaraan gender. Bagi dia, menarik untuk mengungkap penghalang yang membuat perempuan tak bisa berkiprah. Dan itu berlanjut hingga sekarang.

Selain aktif menulis, Diah aktif diundang dalam seminar internasio­nal. Mulai di Austria, Korea Selatan, Thailand, hingga masih banyak lagi negara lain. Bahkan, saat ini Diah juga aktif sebagai reviewer untuk jurnal internasio­nal yang berpusat di London, Inggris. Sekaligus menjadi reviewer untuk jurnal Malaysia.

Bukan hanya itu, Diah juga didaulat menjadi penguji S-3 di kampus luar negeri. Salah satunya Ruki College, India. Nama Diah memang diperhitun­gkan di banyak negara.

Namun, bagi Diah, yang terpenting adalah terus membaca dan menulis. Dua hal itu tak bisa dihentikan oleh Diah. Menurut dia, itu adalah senjatanya untuk bisa terus berbicara. Ya, Diah selalu percaya bahwa perempuan bisa berbicara. Salah satunya lewat tulisan. Pun, lewat kiprah dalam pendidikan.

Nah tekad tersebut dia dapat dari sang ayah, Soeleman. ” Anak wedok yo iso mlangkah (anak perempuan juga bisa melangkah, Red),” ujar Diah, menirukan penuturan sang ayah. Dari sana, Diah memang getol untuk terus berkarya. Niat sederhana itu kini berbuah manis. Deretan apresiasi dan penghargaa­n memang telah didapat Diah.

Ternyata, hal itu bukan capaian terbesar Diah. Bagi penggemar Cak Kartolo tersebut, kesuksesan­nya adalah ketika mahasiswan­ya bisa paham. Kebahagiaa­nnya justru ketika apa yang dia sampaikan membuat mahasiswan­ya lantas mengerti. Apalagi terinspira­si untuk melakukan sesuatu. ”Itu, rasanya, semua capek saya langsung hilang. Sueneng sekali,” imbuhnya.

Meskipun tak pernah bercitacit­a menjadi pendidik, Diah menemukan kebahagiaa­nnya sebagai dosen. Karena itu, Diah mengaku tetap bersemanga­t untuk terus meneliti. Kini dia sudah menyiapkan jurnal terbarunya. Bahkan, dia berencana membuat buku kedua. Keinginan Diah selanjutny­a adalah membu at novel. ” Pengin sekaliii. Tapi belum sempat,” ujarnya, lalu tersenyum. (*/c11/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia