Yang Mulia, Sudahlah...
KISAH seputar Setya Novanto (Setnov) tak ada habisnya. Kemampuannya lolos dari kasus hukum yang menjeratnya membuat orang geleng-geleng. Padahal, kasus yang menjeratnya bukan kelas remeh-temeh. Mulai kasus cessie Bank Bali Rp 905 miliar, penyelundupan beras impor Vietnam, impor limbah beracun dari Singapura ke Batam, hingga skandal ”Papa Minta Saham” PT Freeport Indonesia. Terakhir, tentu saja megakorupsi e-KTP yang merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun. Dalam kasus itu, KPK menduga Setnov menerima aliran uang hingga Rp 574 miliar.
Tapi, kali ini KPK harus bekerja ekstrakeras. Begitu kasus e-KTP yang menyeret nama banyak politikus Senayan diusut, komisi antirasuah itu harus berpeluh dalam berjibaku menghadapi serangan yang bertubi-tubi. Mulai Pansus Angket KPK hingga tuduhan kriminal yang menjerat penyidik dan pimpinan KPK.
Bukan hanya itu, KPK juga harus adu cerdik dengan kelihaian Setnov dan kuasa hukumnya. Status tersangka yang sempat disematkan untuk Setnov berhasil dimentahkan melalui praperadilan. Meskipun KPK kemudian dengan lugas menyematkan lagi status tersangka untuk Setnov. Tapi, selain cerdik dan lugas, KPK juga dituntut ekstrasabar. Sebab, dalam pemanggilan Setnov untuk diperiksa sebagai tersangka, ada-ada saja kejadian yang mengiringi. Masih segar dalam ingatan ketika tiba-tiba September lalu Setnov dilarikan ke RS Premier Jatinegara. Bayangkan, dalam satu waktu Setnov disebut tengah menderita vertigo, penurunan fungsi ginjal, pengapuran jantung, gangguan keseimbangan, tekanan darah tinggi, kenaikan gula darah, gejala stroke, hingga tumor di tenggorokan.
Namun, empat hari setelah menang praperadilan dan status tersangkanya gugur, Setnov langsung meninggalkan RS Premier Jatinegara. Beberapa hari kemudian dia sudah tampak segar bugar, unjuk kebolehan bermain tenis meja.
Apakah semua itu drama? Entahlah. Biar KPK dan polisi mengusutnya. Tapi, peristiwa demi peristiwa yang menyangkut Setnov tersebut harus diakui sudah berlarut-larut dan menguras energi. Jadi, sebagai rakyat, kita berhak mengatakan kepada ketua DPR, ”Yang Mulia, sudahlah…jangan kucing-kucingan lagi.” (*)