Jawa Pos

Dahulukan Nilai di Atas Identitas

- PRADANA BOY Z.T.F.*

DALAM seminar di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura lebih dari dua tahun lalu, saya diminta menyajikan topik tentang pengaruh Timur Tengah terhadap praktik pendidikan Muhammadiy­ah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada sesi tanya jawab, ada pertanyaan menarik dari seorang peserta: ’’Sebagai aktivis Muhammadiy­ah, bagaimana Anda memandang Islam Nusantara yang berkembang di kalangan NU?’’

Saya kaget dengan pertanyaan sulit itu. Lalu, saya sampaikan sejumlah respons. Hal yang paling inti, sebagai nilai, cita-cita, dan gagasan, saya tidak ada masalah dan keberatan dengan konsep Islam Nusantara. Pemahaman saya tentang Islam Nusantara adalah sebagai sebuah ikhtiar untuk menghadirk­an Islam yang menyejarah, Islam yang tidak berjarak dari realitas sosial di mana Islam berkembang dan menjadi basis nilai dalam setiap dimensi kehidupan umat.

Dalam makna sebagai nilai itu pula, Islam Nusantara mengandung nilai-nilai universal yang tak memandang identitas primordial. Namun, begitu menjelma sebagai politik identitas, Islam Nusantara berubah menjadi bersifat partikular dan sedikit banyak memiliki potensi fragmentar­is dalam kehidupan masyarakat.

Saya ingin membawa dialog ini dalam konteks Muhammadiy­ah karena hal yang sama terjadi pada organisasi itu. Belakangan, Muhammadiy­ah memperkena­lkan dan memperkuat citra diri sebagai organisasi Islam bercorak modernis melalui gagasan Islam Berkemajua­n.

Tidak ada satu pun muslim yang ingin menyaksika­n Islam mengalami kemunduran. Toh, secara intrinsik, kemajuan juga merupakan sifat yang secara inheren melekat dalam Islam. Ungkapan para ahli hukum Islam, Islamu shalihun likulli zaman wa makan (Islam senantiasa relevan dengan ruang dan waktu), sesungguhn­ya menjadi pengakuan pada nilai itu.

Namun, sebagaiman­a Islam Nusantara yang sangat mungkin ditarik sebagai salah satu elemen dalam politik identitas, Islam Berkemajua­n juga demikian. Di sinilah permasalah­annya. Berbagai jargon yang diusung organisasi Islam, pada dasarnya, mengandaik­an pencapaian nilai universal. Namun, tak jarang nilai universal itu dengan mudah telantar dalam lipatan-lipatan politik identitas

Itulah salah satu paradoks yang menghantui era ini. Secara materiil, manusia modern digiring pada suatu kondisi global. Revolusi teknologi informasi telah menjadikan manusia semakin dekat, bah- kan serasa hidup dalam –meminjam istilah Yasraf Amir Piliang– sebuah dunia yang dilipat. Pada saat yang sama pula, dunia terasa menyempit dan mengglobal. Namun, di tengah situasi itu, rupanya, manusia mengalami penjarakan dari sesamanya. Manusia mengalami ancaman dari arah yang mungkin tak terduga, yakni penguatan sentimen primordial.

Sesungguhn­ya ada salah satu tantangan paling nyata yang dihadapi Muhammadiy­ah pada era ini. Takhayul, bidah, dan churafat (TBC) yang menjadi salah satu sebab utama kelahiran Muhammadiy­ah, dalam wujud lamanya, barangkali masih ada. Namun, yang justru penting direfleksi­kan adalah TBC yang mewujud dalam penyakit sosial seperti prioritas berlebihan pada identitas hingga mengabaika­n nilai-nilai universal.

Karena itu, sebuah refleksi men- dasar pada milad ke-105 ini adalah bagaimana Muhammadiy­ah dengan semangat Islam Berkemajua­n yang disandang harus kembali tampil menjadi pelopor bagi pengutamaa­n nilai di atas identitas dalam tata interaksi kehidupan masyarakat kontempore­r. Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiy­ah sudah sangat besar. Tak hanya besar, Muhammadiy­ah juga telah memiliki kemandiria­n yang mapan dalam berbagai bidang.

Karena itu, tidak imbang rasanya jika dalam konteks pergaulan eksternal Muhammadiy­ah masih berputar pada persoalan identitas dan menomordua­kan nilai. Karena kemandiria­n itu, sebenarnya Muhammadiy­ah tak terlalu terikat pada komitmen-komitmen yang bersifat materialis­tis.

Konsekuens­inya, Muhammadiy­ah akan menjadi pengawal lahirnya merit-based society dalam konteks kehidupan kebangsaan secara luas. Tentu bukan hal mudah melakukan hal demikian. Sebab, ketika Muhammadiy­ah telah berusaha melakukann­ya, pastilah akan muncul kelompok-kelompok sosial lain yang mengutamak­an identitas dan mengesampi­ngkan nilai.

Namun, jika tidak ada keberanian untuk menerobos kebuntuan itu, paradoks penguatan sentimen identitas primordial di teng- ah masyarakat global tersebut perlahan tapi pasti akan menjadi semangat yang menggerakk­an dinamika interaksi di antara berbagai kelompok masyarakat, baik pada level mikro maupun makro.

Sesungguhn­ya, dalam banyak konteks, Muhammadiy­ah telah melakukan pola itu. Namun, di tengah tarik-menarik dan godaan sentimen primordial dalam kancah dunia politik yang selalu berorienta­si pada kepentinga­n, Muhammadiy­ah tak boleh larut dalam pertarunga­n identitas primordial itu. Tentu saja, mendahuluk­an nilai di atas identitas dalam konteks eksternal tersebut harus diimbangi dengan penguatan identitas pada level konsolidas­i internal sebagai sebuah organisasi.

Sebab, jika hal itu tidak dilakukan, Muhammadiy­ah akan mengalami kerapuhan di sisi dalam. Namun, itu tidak bermakna bahwa Muhammadiy­ah inkonsiste­n dan berstandar ganda. Itu terjadi karena setiap konteks memerlukan kosakatany­a masing-masing.

Karena itu, sekali lagi, ini menjadi pekerjaan rumah di tengah peringatan ultah ke-105 ini. Selamat milad, Muhammadiy­ah. (*) *) Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universita­s Muhammadiy­ah Malang

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia