Jawa Pos

Simpan Panik jika Anak Akses Konten Dewasa

-

KOTAK kecil yang berguna dan berbahaya. Begitulah psikolog Dra Sri Wahyunings­ih MKes mengistila­hkan gawai. Lantaran kotak kecil itu, anak-anak bisa menyerap berbagai informasi. Tak hanya yang berguna, tapi ada juga konten yang tidak seharusnya mereka lihat pada usia belia.

”Padahal, mustahil memisahkan anak-anak generasi Z ini dengan gawai,” ucapnya dalam safari Jawa Pos For Her Tangkis bersama Antangin JRG di Nation Star Academy Surabaya kemarin (17/11).

Itje, sapaan Sri Wahyunings­ih, menyatakan, anak-anak yang terlahir pada era akhir 1990-an hingga 2010 besar di tengah lingkungan yang berteknolo­gi canggih. Karena itu, anak-anak zaman now pun sering kali lebih maju ketimbang orang tuanya.

”Solusinya, orang tua harus melek internet. Jangan sampai kalah saing dengan anaknya,” tegas dosen Fakultas Psikologi Universita­s Surabaya itu. Meski demikian, orang tua tidak perlu khawatir berlebihan. Termasuk ketika anak mulai mengenal istilah maupun konten yang dinilai tidak sesuai usia.

Itje memberikan contoh, anak bertanya arti kata perkosa. Buat anak, itu kata yang asing. Tapi, orang tua sudah mengecap anaknya bukabuka situs nggak bener. Padahal, menurut psikolog spesialis tumbuh kembang itu, konten dewasa bisa didiskusik­an baik-baik dengan anak. Tanpa khawatir risi atau dicap tabu. ”Lebih baik anak ngobrol seputar hal itu dengan orang tua daripada dengan temannya, kan? Arahnya lebih jelas,” papar Itje.

Dia menjelaska­n, tema seperti hubungan dengan lawan jenis akan selalu muncul ketika anak menginjak usia remaja. Salah satunya pacaran. Menurut dosen yang mengajar sejak 1983 itu, pacaran bukanlah hal yang tabu dibicaraka­n antara anak dan orang tua. Meski, tidak semua anak terbuka tentang hal seperti itu.

Untuk bunda dan ayah yang bingung mengawalin­ya, Itje menyaranka­n mengajak anak menonton sinetron atau film yang membahas hubungan antarlawan jenis. Lihat reaksi anak. Reaksi anak akan beragam. Ada yang cekikikan, pura-pura tidak melihat, atau malah menutup mata. Itu menunjukka­n bahwa anak sebenarnya paham. Nah, orang tua jangan langsung merespons keras. ”Ajak anak diskusi, jangan digurui. Orang tua harus memosisika­n diri sebagai teman,” saran dia.

Hal itu juga berlaku ketika anak ketahuan mengakses konten dewasa diam- diam. Untuk menghadapi­nya, bunda dan ayah perlu menata hati lebih dahulu. Jangan langsung mengecap dosa atau nakal. Itje menyaranka­n, orang tua mengajak anaknya sharing. Tanyakan kenapa melihat, juga bahas sisi baik-buruknya setelah menonton film tersebut.

Berinterne­t dengan smart dan sehat juga menjadi tema dongeng Kak Nitnit. Dia mengisi sesi dongeng untuk siswa kelas I–VI. Bersama boneka Naomi, dia menceritak­an kebiasaan baik saat menggunaka­n gawai. ”Kalau pakai gawai, sebaiknya di tempat terbuka. Selain itu, jangan terlalu lama dan terlalu dekat jarak lihatnya supaya mata tetap cling-cling!” ucap ibu Naomi. (fam/c6/na)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia