Jawa Pos

Bertahan hingga Kematian Menjemput

Robert Mugabe bukan satu-satunya yang lupa berdiri dari kursi kekuasaan di ”zaman now” ini. Mereka M umumnya menggunaka­n pemilu yang cacat untuk mempertaha­nkan takhta.

-

KETIKA Robert Mugabe mendduduki kursi kepresiden­an Zimbbabwe pada 22 Desember 1987, usia Jacinda Ardern baru lima bulan. Margareth Thatcher juga tengah berkuasa di Inggris dan TTembok Berlin kukuh berdiri mmembelah Jerman.

Empat dekade berselang, saat wwaktu berputar kencang di bagian dunia lain, di Zimbabwe tidak. Ardern kini menjadi perdana menteri Austria, Thatcher sudah empat tahun berpulang, dan Jerman bersatu setelah masing-masing sekali memenangi Piala Eropa dan Piala Dunia. Tapi, Mugabe masih saja jadi presiden Zimbabwe.

Bahkan, setelah dijadikan tahanan rumah oleh militer yang mengudetan­ya, kakek buyut 93 tahun itu masih ngotot bertahan. Katanya, sampai kematian menjemputn­ya.

Tidak ada yang tahu kapan malaikat maut menjemput Mugabe. Yang jelas, kudeta ke Mugabe seperti mengingatk­an siapa saja: di milenium baru ini, di zaman serbadigit­al ini, ternyata masih ada peninggala­n politik arkaik bernama kediktator­an.

Mugabe boleh saja berdalih terpilih melalui proses demokrasi. Tapi, demokrasi macam apa yang membiarkan seseorang bertakhta sampai empat dekade?

Jangan- jangan demokrasi ”berbulu domba”. Demokrasi yang tak ubahnya monarki yang umumnya hanya melakukan rotasi kekuasaan saat sang raja tutup mata.

Dan, jangan salah, di ”zaman now” ini, Mugabe bukan satu-satunya diktator yang masih bertahan. Afrika adalah gudangnya. Di Sudan, misalnya, ada Omar Al Bashir yang telah 28 tahun berkuasa. Dan Isaias Afewerki yang telah memimpin Eritrea lebih dari dua dekade.

Tak jauh dari Indonesia, ada Hun Sen yang telah memimpin Kamboja bahkan lebih lama ketimbang Mugabe di Zimbabwe. Pekan lalu Mahkamah Agung (MA) memberikan jalan bagi Hun Sen untuk berkuasa lagi lewat pemilu tahun depan.

Sebab, MA membubarka­n partai oposisi utama, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP). Otomatis Hun Sen dan partainya tak akan mendapat lawan berarti tahun depan.

”Demokrasi mati di Kamboja,” keluh seorang aktivis.

Jejak kediktator­an itu juga masih tersisa di Eropa. Aleksandr Lukashenko telah memimpin Belarus sejak lepas dari Uni Soviet pada 1994 sampai sekarang. Oh, maaf, mungkin sampai meninggal.

”Selain kudeta militer, transisi menuju negara diktator juga bisa lewat pemilu yang cacat,” tulis analis politik Chris Maxon di City Press.

Ya, seperti Mugabe, orang-orang seperti Lukashenko, Hun Sen, dan Al Bashir juga melanggeng­kan kekuasaan melalui pemilu. Di situlah ironinya. Berkilah bukan diktator karena dipilih lewat pemilu. Tapi, melanggeng­kan kekuasaan sehari-hari dengan praktik-praktik jahanam.

Mulai pembungkam­an kebebasan berekspres­i, dibubarkan­nya kekuatan oposisi, bahkan sampai pembunuhan masal.

Presiden Guinea Khatulisti­wa Teodoro Obiang Nguema Mbasogo misalnya. Dia memimpin negaranya dengan tangan besi sejak 1979. Ribuan warganya yang dianggap penentang telah jadi korban.

Begitu banyak contoh dan begitu mengerikan. Tapi, tetap saja patah tumbuh hilang berganti.

Di Zimbabwe contohnya. Mugabe mungkin tak akan bisa melawan kehendak militer dan rakyat yang menghendak­inya mundur. Tapi, siapa yang bisa menjamin Emmerson Mnangagwa, si wakil presiden yang jadi calon terkuat sebagai pengganti, tak akan mengikuti jejak kelam Mugabe?

”Mnangagwa haus kekuasaan, korup, dan gemar merepresi rakyat. Dia bahkan jauh lebih keji (ketimbang Mugabe, Red),” kata Peter Fabricius, pengamat politik dari Afrika Selatan. (AP/ Reuters/newyorktim­es/news24/ hep/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia