Jawa Pos

Ula-Ula yang Sakral

Jika langit adalah ayah, laut ibunya. Keduanya bertemu untuk melindungi anak-anaknya. Itulah keyakinan yang dipegang teguh oleh suku Bajo (beberapa menulisnya Bajau) atau suku Sama. Meski bersebar dan terpisah lautan, tradisi Sama tetap abadi.

-

BAGI suku Bajo, di mana ada laut di situlah tempat hidup. Semua tahap kehidupan suku Bajo, mulai kelahiran, khitan, menikah, sakit, hingga kematian, tidak terlepas dari laut.

Anak yang baru lahir akan dimandikan dengan menggunaka­n air laut. ’’Bahkan, konon, dahulu bayi yang baru dilahirkan dibuang ke laut. Dibiarkan dalam beberapa menit. Jika mampu bertahan dan masih hidup, berarti dia suku Bajo,’’ ujar Rakhmat Zainal, budayawan Selayar, Sulawesi Selatan. Begitu pula halnya dengan ula

ula yang selalu ada dalam upacara fase kehidupan masyarakat Bajau. ’’ Ter utama saat khitan, pernikahan, dan ketika seseorang sakit,’’ terangnya.

Berbentuk menyerupai manusia, yakni memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki, ula-ula adalah representa­si sang leluhur. Di suku Bajo lain, ula-ula bahkan dipasang di perahu. Sebagai simbol bahwa nenek moyang bersama mereka melaut. Tradisi mengibarka­n

ula-ula juga dilakukan masyarakat suku Bajau di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

Mereka bersebar di enam desa, yakni Latondu, Rajuni, Tarupa, Pasitallu (Timur dan Barat), Jinato, dan Kayuadi. Pada penyelengg­araan Festival Taka Bonerate Islands Explore (TIE), 26 Oktober, di Desa Rajuni Kidi dihelat sebuah pesta pernikahan dengan mengibarka­n bendera ula-ula.

Sebagaiman­a layaknya kehidupan pulau, pesta perkawinan adalah sesuatu yang ditunggutu­nggu. Bukan hanya oleh dua kekasih dan keluargany­a, tetapi juga oleh seluruh penduduk pulau. Sayangnya, upacara tersebut hanya atraksi wisata, bukan kawinan sesungguhn­ya.

Padahal, dalam setiap upacara, saat ula-ula dinaikkan, atmosferny­a sakral. Tahapan demi tahapan prosesi harus presisi. Tidak boleh ada yang keliru. Kalau tidak, ada anggota keluarga maupun masyarakat bisa sakit, kesurupan, atau meninggal. Bahkan, bisa-bisa datang bencana bagi desa.

’’Saat ula-ula akan dinaikkan, harus ada yang disembelih,’’ kata Abdul Manan, presiden Kerukunan Keluarga Sama Bajau Indonesia. Bisa kambing, atau sapi. Bergantung kelasnya.

Ya, ada sistem kelas sosial dalam masyarakat suku Bajo. Untuk menyelengg­arakan pernikahan, tidak sembarang orang bisa mengibarka­n bendera ula-ula. Hanya dari turunan Lolo Bajau atau nenek moyang mereka yang berhak melakukann­ya.

Tradisinya, bendera ula-ula selalu diwariskan, dibawa oleh keturunann­ya. Karena itu, tidak ada ula-ula yang dinaikkan tanpa kegiatan berarti.

Ada empat warna dasar bendera ula-ula. Merah, kuning, putih, dan hitam. Warna-warna tersebut memiliki makna. Merah untuk suku Bajo dengan status sosial paling tinggi atau Lolo Bajau, yakni raja maupun bangsawan. Di Pasitallu, masih banyak keturunan Lolo Bajau jika dibandingk­an dengan desa lain di kawasan TNTB.

Ula-ula kuning menyimbolk­an status penggawa. Sedangkan yang putih menyimbolk­an kelas aparatur. Dan, ula-ula hitam merupakan simbol untuk kelas budak. Ula-ula hitam seharusnya tidak boleh dinaikan karena kelas budak tidak diperkenan­kan.

’’Dalam arti kehidupan, warnawarna tersebut mewakili elemen alam,’’ lanjut dosen Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Universita­s Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara, itu. Merah untuk api, putih adalah udara, kuning simbol air, dan hitam perlambang tanah. Sebagai elemen kehidupan, warnawarna tersebut dekat dengan keseharian masyarakat.

Menurut Manan, ada tata cara untuk menaikkan bendera. Harus mengenakan baju adat. Tidak boleh sembaranga­n atau nanti didatangi leluhur. Selain itu, bendera Merah Putih, bendera Indonesia, juga harus dinaikkan. Harus sakral. ’’Dan, bendera harus dibawa oleh tokoh-tokoh adat dengan mengenakan pakaian adat,’’ tegasnya.

Sang pembawa baki bendera harus membaca salawat tiga kali sebelum menaikkan. Dengan diiringi gandah (gendang) dan gong, barulah ula-ula dinaikkan.

Ula-ula biasanya di tempatkan di rumah mempelai perempuan. Jumlahnya sepasang. Sebelah kanan Merah Putih, kiri ula-ula.

Ula-ula akan dipasang selama pesta perkawinan berlangsun­g. Tujuh hari hingga sepuluh hari. Dimulai sejak pertama keluarga berbelanja kebutuhan hajatan ( ngarontuh) hingga pesta berakhir. Selama itu pula leluhur merestui dan hadir dalam pesta anak cucunya. (Lisvi Nailati Padlilah/c4/dos)

 ??  ?? LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS REPRESENTA­SI LELUHUR: Ula-ula yang dinaikkan di Selayar, Sulawesi Selatan. Warna-warnanya mengandung simbol status sosial dan perwujudan kedekatan dengan alam.
LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS REPRESENTA­SI LELUHUR: Ula-ula yang dinaikkan di Selayar, Sulawesi Selatan. Warna-warnanya mengandung simbol status sosial dan perwujudan kedekatan dengan alam.
 ??  ?? LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS PENGGAMBAR­AN TRADISI: Suasana pernikahan suku Bajau yang diperagaka­n dalam Festival Suku Bajau, 25–26 Oktober.
LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS PENGGAMBAR­AN TRADISI: Suasana pernikahan suku Bajau yang diperagaka­n dalam Festival Suku Bajau, 25–26 Oktober.
 ??  ?? LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS SIMBOL SUCI: Ula-ula dipasang ketika ada perhelatan yang sakral. Tahapan dalam setiap upacara harus dilaksanak­an secara presisi.
LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS SIMBOL SUCI: Ula-ula dipasang ketika ada perhelatan yang sakral. Tahapan dalam setiap upacara harus dilaksanak­an secara presisi.
 ??  ?? LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS MANCAK PADANG: Atraksi silat khas suku Bajo yang diperagaka­n pada Festival Bajau di Selayar, Sulsel.
LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS MANCAK PADANG: Atraksi silat khas suku Bajo yang diperagaka­n pada Festival Bajau di Selayar, Sulsel.
 ??  ?? LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS ANAK LAUT: Anak-anak suku Bajo menaiki perahu di bawah matahari senja yang membuat langit menjadi keemasan.
LISVI NAILATI PADLILAH/JAWA POS ANAK LAUT: Anak-anak suku Bajo menaiki perahu di bawah matahari senja yang membuat langit menjadi keemasan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia