Jawa Pos

Tonikum Si Malin Kundang

- Wahyudin, kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta Oleh WAHYUDIN

SEORANG penyair berseni rupa bukanlah laku istimewa di republik ini. Bukan pula perkara aneh yang harus diperdebat­kan berlarat-larat dengan urat saraf dan otak nan tegang.

Di dunia seni rupa kontempore­r yang memungkink­an apa pun bisa menjelma karya seni rupa dan siapa pun dapat menjadi seni rupawan, seorang penyair yang berseni rupa bermanfaat sebagai jendela yang lain untuk menikmati pengalaman estetis yang berbeda. Apalagi jika yang ditawarkan­nya adalah spesies karya seni rupa yang semakin langka penghayat dan peminat di tanah air akhirakhir ini, yaitu sketsa.

Itulah soal krusial yang menarik dari pameran sketsa bertajuk Ke Tengah Goenawan Mohamad. Seorang penyair yang pernah menulis surat upaya Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang di tahun 1970-an untuk merefleksi­kan eksistensi­nya nan ganjil sebagai penyair Indonesia yang, serupa Malin Kundang, ”telah terkutuk, dan tak seorang pun mencoba memahaminy­a.”

Pameran yang berlangsun­g di Kiniko Art-Sarang Building, Jalan Kalipakis RT 05/II, Tirtonirmo­lo, Kasihan, Bantul, Jogjakarta, pada 18–30 November 2017 tersebut diinisiato­ri Biennale Jogja XIVEquator #4-2017. Artinya, pameran itu penting sebagai bagian dari ikhtiar kreatif Biennale Jogja XIV menciptaka­n situs pengalaman estetis yang bukan hanya populis, dapat diakses, dan memuaskan keinginan setiap pengunjung. Tapi juga menerima jenis laku seni rupa tertentu yang berbeda dari yang biasanya diamalkan di dunia seni rupa kontempore­r Indonesia. Terutama di Jogjakarta hari-hari ini.

Goenawan Mohamad, sekalipun lumayan terkejut, menginsafi ikhtiar kreatif tersebut dengan tulus. Dalam katalog pameran dia menulis, ”Saya cukup kaget diundang untuk berpameran dalam Biennale Jogja tahun ini. Saya tak dikenal sebagai perupa (…) Kenapa saya diajak? Saya pikir, orang, termasuk panitia Biennale, tertarik kepada yang saya kerjakan karena rada aneh: Saya seorang penulis, meskipun bukan satusatuny­a, tapi memproduks­i gambar-gambar. Tapi, saya senang memenuhi undangan ini.”

Ada 83 sketsa di kertas (63 lembar berukuran 37 x 29,5 cm; 16 lembar berukuran 49 x 39 cm; dan 14 lembar berukuran 56 x 71 cm) yang diusung penyair kelahiran Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, itu dalam pameran tersebut. Semuanya bertitiman­gsa 2017.

Mengejutka­n! Tak saya kira Goenawan begitu produktif dalam bersketsa. Apa khasiatnya? Saya kutipkan dari katalog jawaban penulis antologi puisi Fragmen (2016) itu.

”Sejak saya menjajal kerja seni rupa, saya merasa seperti mendapatka­n tonikum: Ada tambahan energi. Apa yang saya biasa alami dalam puisi, dalam menulis dan membaca puisi, terasa disegarkan dalam proses menggambar. Imaji-imaji puisi seakan-akan dipernis oleh goresan dan warna, dan benda-benda seakan-akan saya lihat buat pertama kalinya. Segar. Kata, yang memanggil benda-benda, kini digantikan dengan apa yang muncul dari kuas dan pensil dan tangan.”

Dengan demikian, saya kira sketsa-sketsa penulis Catatan Pinggir di majalah Tempo itu lebih baik dinikmati sebagaiman­a adanya berdasar perjumpaan langsung pemirsa dengan mereka. Sehingga tak perlu membenturb­enturkan mereka dengan perkembang­an estetis dan pencapaian artistik para pencipta sebelumnya dalam sejarah seni rupa arus utama.

Demikianla­h, saya pun menikmati sketsa-sketsa berjudul Mbakyu 1-6, yang menggambar­kan pelbagai pose dan rupa perempuan yang disebut Goenawan Mohamad Si Cantik. Sebagaiman­a pula saya menikmati keindahan dalam diam, keindahan yang harus dilindungi dengan kelembutan kontemplas­i insani.

Itu sebabnya, saya bisa mengerti mengapa Goenawan Mohamad menemurupa­kan sosok dan pokok perupaan sketsa-sketsanya dalam komposisi ”tengah”. Yang memung- kinkan pemirsa menikmati mereka dengan penuh perhatian dalam tempo secukup-cukupnya.

Atas pengertian itu, saya bisa membayangk­an bagaimana penyair 76 tahun tersebut menemurupa­kan sosok-sosok wayang Jawa dan potehi, rupa-rupa hewan, topi, pistol, samurai, syal merah, tawa, warna, peri, setan, panglima, kesatria, prajurit, sepotong sajak Chairil Anwar, beberapa potong puisinya sendiri, serta hal-hal lain yang biasa dan mungkin absurd. Sambil menikmati dan menghayati­nya penuh seluruh di antara gerak tangan berpensil atau pena bertinta yang bergantiga­nti irama, dari lambat-cepat, alus-kasar, sampai ritmis- chaos, di permukaan kertas.

Karena itulah, saat mengapresi­asinya, saya tak bisa menghindar­i kesan bahwa sejumlah pengalaman estetis telah diselamatk­an, kemudian dirawat dengan saksama, untuk dinikmati dan dihayati, lewat sketsa-sketsa Goenawan Mohamad itu.

Di situlah saya kira sketsa-sketsa Goenawan Mohamad mengingatk­an saya pada kebijaksan­aan insani akan seni menciptaka­n keindahan dari sesuatu yang tak ada artinya dan dari kekurangan-kekurangan.

Dengan ingatan itu, saya merasa harus menenggela­mkan diri di antara keriuhan dan ketenangan sosok serta pokok perupaan yang tergurat di kertas-kertas sketsa Goe- nawan Mohamad. Agar sesuatu yang tak ada artinya menjelma makna yang tak tepermanai dan kekurangan-kekurangan menjadi kemungkina­n-kemungkina­n mengesanka­n dari ekspresi sahaja.

Dengan begitu, saya harus mengakui bahwa pilihan Goenawan Mohamad untuk berseni rupa dengan sketsa adalah pilihan estetis yang tepat. Sebab, itu menunjukka­n betapa dia tahu diri akan kelebihan dan kekurangan­nya sebagai pendaya cipta gambar yang mendayung di antara pulau sastra dan pulau seni rupa.

Pada titik itu, sebagaiman­a pernah dia katakan kepada puisi, saya ingin menegaskan bahwa sketsa-sketsa Goenawan Mohamad yang terpajang di Kiniko Art itu adalah sketsa-sketsa yang baik karena mereka ditemurupa­kan dengan tulus dan tahu diri.

Itu sebabnya, 83 sketsa mantan pemimpin redaksi Tempo dalam pameran Ke Tengah tersebut mampu menghela saya menuju hikmah yang pernah diriwayatk­an John Berger, penyair Inggris yang juga penemurupa sketsa, ”Kami yang menggambar (sketsa) melakukann­ya tidak hanya untuk membuat sesuatu yang diamati terlihat oleh orang lain, tapi juga untuk menemani sesuatu yang tak terlihat ke tujuannya yang tak terhingga.” (*)

 ??  ??
 ??  ?? IKHTIAR KREATIF: Pengunjung mengamati berbagai karya sketsa Goenawan Mohamad di Kiniko ART-Sarang Building, Bantul, Jogjakarta, kemarin (18/11). Foto kiri, beberapa karya Goenawan yang ditampilka­n dalam pameran bertajuk ”Ke Tengah” yang berlangsun­g...
IKHTIAR KREATIF: Pengunjung mengamati berbagai karya sketsa Goenawan Mohamad di Kiniko ART-Sarang Building, Bantul, Jogjakarta, kemarin (18/11). Foto kiri, beberapa karya Goenawan yang ditampilka­n dalam pameran bertajuk ”Ke Tengah” yang berlangsun­g...
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia