Seorang Tamu di Luar Bahasa
(Membaca Puisi Aziz Manna)
BAHASA performatif puisi-puisi Azis Manna terlihat sejak kumpulan puisinya, Wong Kam Pung, terbit pada 2010; kemunculannya dalam Poetry International Indonesia (What’s Poetry) di Surabaya 2012.
Puisi-puisi Aziz tumbuh dalam sebuah era transisi antara media analog dan media digital, ikut terseretnya Indonesia ke dalam pasar bebas dan pergaulan masyarakat global tanpa persiapan. Peralihan itu tidak alih-alih terpahami sebagai sebuah pergantian total. Kedua media itu tetap berlangsung dalam ruang aktivisme masing-masing.
Keterkaitan langsung dalam peralihan ini adalah berubahnya ’’rasa bahasa” dan jejaring makna yang melebar dengan berbagai pantulannya yang tidak terduga. Masyarakat global sebagai ’’masyarakat berbahasa Inggris”, terutama juga ditopang oleh hyper performance yang dibawa dunia co branding dari pemasaran maupun pencapaian teknologi, membuat rasa bahasa terhadap puitika bahasa Indonesia yang hampir 70 tahun sebelumnya berusaha dibangun para penyair dan sastrawan, grafitasinya mengalami pergeseran yang signifikan.
Bahasa Inggris yang kian ditopang oleh masyarakat internasional, pasar global, budaya pop, maupun teknologi Big Data membuat dinding-dinding bahasa Indonesia rontok dan puisi Indonesia alih-alih seperti mengapung dalam ruang yang menyempit. Kehilangan grafitasi, gestur, maupun imajinasi representatifnya atas kode-kode budaya. Bahasa ini seperti software yang kehilangan hardwarenya. Sebuah perang yang intinya: tidak berimbangnya gerak antara dimensi waktu yang dalam ruang budaya dan dimensi waktu yang bergerak dalam perubahan pasar.
Puisi Aziz tentang kematian orang tua ( Ziaroh 2) adalah presentasi atas perubahan itu melalui metafora perubahan atas kenangan: kenangan membuat aku yang pulang menjadi aku yang bertamu dan berlangsung dalam rumah sendiri. Aktivisme yang secara harfiah juga berubah seperti ’’menonton TV yang mati’’ yang diungkapkan dalam tubuh puisi yang sama.
Penyair segenerasi Aziz Manna, yang bisa disebut sebagai bagian dari generasi millennial, di mana teknologi sudah menjadi dinding utamanya, tampak kewalahan berhadapan dengan bahasa yang kehilangan vokalitasnya. Gerak dan percepatan merupakan realitas utama yang dihadapi generasi ini. Apakah yang harus dilakukan penyair masa kini berhadapan dengan fenomena bahasa seperti ini: ’’membunuh bahasa nasional’’, kembali ke ’’bahasa ibu’’, atau ikut ’’membunuh bahasa ibu’’? Dalam puisi Pikatan, Aziz menulisnya: sebagai huruf-huruf jawa aku layu dipangkuanmu seperti abjad keduapuluh empat aku terperangkap di mulutmu jadi eks: bekas aku jadi kali: aku yang lahir dari aku yang lain engkaulah jazam mengosongkanku dari bebunyian
Tampaknya, Aziz menghindar untuk menjadi seorang kanibal dalam bahasa. Jalan yang dipilih Aziz adalah memaralelkan atau menyejajarkan semua fenomena bahasa. Bahasa Jawa, terutama dalam fungsi merawat kenangan maupun renovasi atas masa lalu agar dialog dengan masa kini tetap berlangsung, dilakukan Aziz sebagai elaborasi dalam bangunan tubuh puisinya. Elaborasi tersebut sepintas terkesan sebagai defamaliarisasi kode-kode bahwa penyair tidak ikut bertanggug jawab atas adanya aktivisme penyair sebagai ’’tukang jahit’’ yang bisa menjahit realitas yang terceraiberai satu sama lainnya.
Konsekuensi lain yang ditempuh Aziz adalah mengurai kembali beban-beban modernisme bahwa individuasi yang pernah dibawa Chairil Anwar adalah menyesatkan. Aku-masa-kini alih-alih hadir sebagai representasi dari ’’bekasaku’’ sekaligus aku sebagai ’’yang-lain’’ dalam imajinasi dunia yang teritorinya tiba-tiba menjadi global, namun tetap tak teralami oleh tubuh. Tubuh dalam teritori global ini tidak pernah mampu melengkapi kebutuhan atas personifikasi aku. Bahkan, aku tidak mampu untuk memantau apa yang sedang terjadi dengan tubuh sendiri.
Aziz berusaha menempuh prosedur lain atas retaknya kultur bahasa dalam penulisan puisi, yaitu hilangnya kaidah tipografi sebagai visual efek yang biasa digunakan penyair dalam membentuk bangunan tipografi puisi-puisinya. Aziz meratakan seluruh puisinya ke dalam margin yang sama rata antara kiri dan kanan. Deformatisasi seperti itu membuat puisinya hadir sebagai bangunan padat dan antiritme. Tipografi tidak lagi berlangsung sebagai bentuk eksternal, tetapi sebagai distraksi internal.
Distraksi pada puisi-puisi Aziz diterima sebagai konsekuensi dari hilangnya pusat tatapan, dan teritori imajinasi sepenuhnya dikuasai oleh gerak dan percepatan. ’’Makna tunggal’’ pada puisi beralih menjadi ’’jejaring makna’’. Dalam puisinya, Jumpritan, Aziz menulis: lengan pun melimbang dari tiang ke pegangan. dari yang satu ke yang ragam … membuat pemeluk jadi pencuri, petualang jadi pelarian… menggerakan yang berhenti. menghentikan yang bergerak.
Penyair yang setia pada kata, dan kini ’’kata” alih-alih harus dihadapi sebagai subkultur yang harus bersaing dengan ’’iklan pulsa 4G’’, membuat penyair terjebak dalam perangkap kata yang memang tidak memiliki jalan keluar. Satu-satunya jalan keluar adalah ’’membunuh kata’’ dan ini yang tidak mungkin dilakukan penyair. Tetapi, kenapa penyair tidak membunuh kata?
Mencermati kembali gramatika seperti apa yang ditawarkan oleh teknologi media masa kini untuk dunia performatif yang dibawanya, tampaknya memang perlu ditempuh penyair generasi kini (Lihatlah, bagaimana lembaga Nobel alih-alih melakukan ’’balik badan’’ dan memberikan Nobel Sastra kepada seniman musik Bob Dylon). Puisipuisi Aziz yang dalam tulisan ini berpusat pada kumpulan puisinya, Playon, yang terbit pada 2015 adalah inspirasi untuk lahirnya platform lain yang terbuka atas bentukbentuk penulisan puisi yang lebih bisa menjawab masalah-masalah kekinian.
Jawaban itu sudah eksplisit ada pada puisi Aziz Manna sendiri: bahwa aku ada dalam teritori ’’yang-lain’’, aku adalah huruf-huruf yang layu, aku adalah lengan yang berubah dari memegang menjadi mencari pegangan. Seluruh kodefikasi itu yang, tampaknya, lebih banyak hadir sebagai dunia muram dari berakhirnya rezim kata dalam penulisan puisi. Bukankah isyarat tersebut sesungguhnya bisa ditempatkan dalam ruang terang dengan melihat kenyataan ’’aku adalah tamu di luar bahasa’’ untuk sewajarnya diterima sebagai realitas dari berubahnya pusat tatapan dalam pergaulan dunia kita di masa kini.
Kehadiran puisi-puisi Aziz Manna dalam konteks puisi Indonesia maupun dalam peta puisi Jawa Timur ikut memperbarui pencapaian puitika yang ditempuh dua penyair penting, Akhudiat dan Zawawi Imron, dan serangkaian lain dari puisi-puisi Nanang Suryadi, Mardi Luhung, Mahendra, Timur Budi Raja, maupun Halim Bariz.
Kodefikasi itu, agak samar, mungkin juga ragu-ragu, atau bahkan, Aziz menandaskannya dalam puisi Paku Gantungan: sebuah paku menancap. Kau membayangkan antara besi, sebuah palu. Lalu, dilanjutkan: dan pakaian dan kunci dan jam penunjuk waktu, bahkan foto kenanganmu.
Betapa setiap kita merasa mengalami sesuatu pada saat yang sama kita berhadapan dengan ’’gramatika yang telah berlalu’’ mengubah yang terjadi seketika menjadi kenangan dalam teritori yang gemanya kian pendek.
Dan inilah noise ruang masa kini yang menjadi bahasa performatif puisi-puisi Aziz Manna. (*)