Bisa Munculkan Diskriminasi Baru
Opsi Dua Jenis KTP Disoal
JAKARTA – Kemendagri diminta hati-hati dalam eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal hak sipil penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME. Jika salah kebijakan, justru bisa timbul diskriminasi baru. Masukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membuat dua jenis KTP disoal karena tidak mencerminkan persamaan layanan kependudukan.
Koordinator Presidium Dewan Musyawarah Pusat (DMP) Majelis Luhur Kepercayaan Kepada Tuhan YME Indonesia (MLKI) Mulo Sitorus menilai MUI tidak berkenan jika agama disejajarkan dengan penghayat kepercayaan. ’’MUI ingin agar KTP umat beragama dibedakan dengan KTP penghayat,’’ katanya kemarin (18/11).
Sarjana hukum yang sekarang berprofesi guru itu menuturkan sudah membaca amar putusan MK. Menurut dia, amar putusan MK tersebut bisa dipahami bahwa kedudukan agama dan penghayat kepercayaan sejajar. Apalagi, konteksnya adalah urusan catatan sipil.
Penghayat Ugamo Malim itu menyatakan, sikap MUI yang minta ada pembedaan KTP menunjukkan belum memahami makna Bhinneka Tunggal Ika. Dia menegaskan, putusan MK itu mengikat dan wajib dihormati semua warga negara dan pemerintah.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah ikut mengomentari tawaran MUI itu. Dia mengatakan, hal tersebut justru sikap membeda-bedakan layanan pencatatan sipil. Dia tidak ingin kebijakan pemerintah justru menimbulkan diskriminasi baru.
Kepala Unit Penjaminan Mutu dan Satuan Pengawas Internal Fakultas Ilmu Administrasi UI itu menjelaskan, putusan MK mewajibkan negara atau pemerintah mengakui kepercayaan. Dia mengatakan, memercayai Tuhan itu bukan pemberian pemerintah. Tetapi muncul dari pribadi masing-masing dan harus diakui negara.
’’Usul yang ditawarkan MUI itu aneh,’’ katanya. Dia menuturkan, dalam konteks pribadi, tidak ada perbedaan antara agama dan kepercayaan. Keduanya samasama media atau cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Sang Pencipta. Dia berharap pemerintah tidak menetapkan KTP berbeda untuk pemeluk agama dan penghayat kepercayaan.
Sebab, jika terjadi pembedaan, ke depan praktik diskriminasi yang dialami para penghayat di lapangan akan kembali terulang. Misalnya, diskriminasi di tempat kerja, diskriminasi ketika akan dimakamkan, dan lain-lain.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah menuturkan, dua skenario penulisan KTP versi pemerintah maupun usul MUI sama-sama masih dikaji. Dia mengatakan butuh waktu sekitar sebulan untuk menetapkannya.
Dalam prinsip kebijakan pelayanan publik, sangat sulit untuk menguntungkan semua pihak. Menurut dia, di setiap kebijakan publik yang diambil pemerintah, umumnya ada pihak-pihak yang merasa tidak diuntungkan. Namun, dia berkomitmen mencari jalan supaya bisa menekan potensi polemik. (wan/c10/oki)