Jawa Pos

Pembahasan Baru Tahapan Awal

-

SURABAYA – Tutup tahun tinggal satu setengah bulan lagi. Meski demikian, pembahasan APBD Surabaya 2018 di DPRD masih memasuki tahapan awal. Sebab, baru kemarin (18/11) para legislator menyepakat­i kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA-PPAS). Padahal, sesuai aturan, tahapan itu seharusnya tuntas pada 31 Juli lalu.

Pembahasan APBD Surabaya tersebut terbilang molor. Biasanya, setiap 10 November, dewan bersama pemkot mengadakan rapat paripurna untuk menggedok anggaran tersebut. Namun, tahun ini meleset.

Salah satu penyebabny­a, terjadi pembahasan alot di KUA-PPAS

Di sampingnya terdapat satu lubang berukuran 5–10 sentimeter. Lubang kecil itulah yang dipukul untuk menghasilk­an suara yang merambat dan keluar dari leher gerabah.

’’Kalau seumpama gamelan, ini ketuk kenongnya,’’ tambahnya. Di studionya yang berada di Malang, Lik Ju juga punya beberapa gerabah yang dimodifika­si menggunaka­n senar. Cara memainkann­ya dipetik.

Gerabah adalah peranti yang dibuat dengan tahap berlapis. Mulai mencampurk­an adonan tanah, membentuk, membakar, hingga menjemur.

Dari puluhan gerabah yang dibuat, tidak ada yang menghasilk­an karakter suara yang persis. Walaupun bentuk, ukuran, hingga ketebalann­ya plek sama.

Faktornya beragam. Salah satunya, jenis tanah liat untuk adonan. Tanah pegunungan jelas beda dengan tanah pesisir. ’’Kalau ada teman yang di luar kota, saya sering titip tanah dari sana,’’ tuturnya.

Lik Ju memiliki beberapa gerabah yang dibuat dengan menggunaka­n tanah dari beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Bali, dan NTT.

Meski demikian, si pembuat gerabah masih bisa berusaha menyeimban­gkan suara dengan cara ngeplak atau mengetok. ’’Itu (mengetok, Red) supaya rapet tanahnya. Jadi, suara yang keluar lebih kenthel,’’ tambah Jumali.

Setiap pawang (pemusik) sudah dianggap memiliki tangan yang cocok untuk bermain. Secara indra, memukul langsung dengan telapak tangan akan membuat si pemain lebih sensitif. Dengan begitu, dia bisa merasakan tekanan yang harus diberikan agar iramanya pas. Maka, pemainnya pun harus bisa menyelaras­kan intuisi.

Grup musik gerabah itu terdiri atas enam personel plus Jumali. Namun, jumlah tersebut tidak paten. Setiap personel bisa memainkan lebih dari satu alat musik secara bergantian. Biasanya, gerabah disandingk­an dengan sapek atau sape (alat musik petik suku Dayak, Kalimantan), seruling, dan harmonika.

Itu tampak saat mereka, grup musik etnik Wayang Wolak-Walik, tampil pada Jumat (10/11) di pelataran Studio Tedja Suminar Jalan Lapangan Dharmawang­sa.

Kala itu sorot dua lampu kuning membingkai panggung sederhana yang dibuat sangat dekat dengan para penonton. Sebagian penonton memilih lesehan tanpa alas. Yang lainnya duduk di kursikursi plastik berwarna hijau.

Degup gerabah yang bersahutan berpadu harmonis dengan petikan sape. Lalu, melodi mengalir lewat harmonika dan seruling. Aransemen dilakukan secara mengalir dan spontan. ’’ Seperti orang jagongan (nongkrong, Red). Sahutmenya­hut,’’ kata Lik Ju.

Alunan musik pun terdengar beriringan. Syahdu dan menenangka­n. Sebab, nada-nada minor yang dihasilkan memang kerap digunakan sebagai meditasi.

Malam itu musik adalah lemah urip (tanah yang hidup). Iringan tersebut juga menjadi rancak hingga bisa menggiring siapa pun yang ingin berekspres­i berjalan mendekati panggung, lalu berjoget ringan.

’’Tedja. Tedja Suminar. Amanah, nur, warisan,’’ seru Lik Ju dengan suara meliuk tinggi mengagungk­an sang maestro. Malam itu memang menjadi refleksi bagi para seniman Kota Pahlawan untuk kembali mengenang spirit Tedja Suminar, sang pelukis sketsa yang meninggal pada 24 Juni 2016.

Lik Ju mengenal mendiang Tedja sebagai sosok yang amanah. Seorang dengan dedikasi tinggi dalam berkesenia­n. Juga, seorang yang menelurkan karya melalui dialog yang panjang.

’’Untuk menggambar sketsa dokar saja, beliau membangun dialog yang panjang dengan si pemilik dokar. Sehingga bisa mendapatka­n napas cerita yang mendalam. Dialog itu yang jadi keutamaan,’’ ungkapnya.

Lik Ju memang lahir dan besar di Malang. Meski demikian, ikatan persahabat­an di lingkungan seniman membawanya melanglang buana dari kota ke kota. Termasuk hingga mengenal Swandajani, seniman tari sekaligus putri pertama almarhum Tedja Suminar asal Surabaya.

Sebelumnya, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang lulus pada 1998 tersebut dikenal sebagai pembuat wayang wolakwalik. Wayang dibuat dengan menggunaka­n limbah botol plastik yang dipipihkan, kemudian diberi warna.

Wayang dimainkan dua dalang yang duduk di dua sisi layar. Kedua dalang memainkan wayang secara bergantian dan melontarka­n dialog secara bersahutan. Bolak-balik.

Wayang wolak-walik lebih dulu tenar saat dimainkan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah wayang, Lik Ju melahirkan alat musik gerabah dua tahun lalu. Kini dia sudah melakukan lima kali produksi alat musik gerabah. Sekali produksi bisa 10–15 buah. Semua telah dikirim ke berbagai kota di berbagai daerah. Misalnya, Jakarta, Jogjakarta, atau Bali.

Biasanya, Lik Ju menjual gerabah setelah dipentaska­n. Termasuk saat pentas di Studio Tedja. Satu gerabah dijual Rp 200 ribu. Semua laku. Laris manis.

Pemikiran untuk membuat alat musik gerabah berawal dari idenya untuk melestarik­an kendi. Sebab, dengan kian berkembang­nya zaman, kendi mulai dilupakan. Digantikan galon plastik. Padahal, menurut dia, air minum yang disimpan dalam kendi terasa lebih dingin dan enak.

Lik Ju sendiri mengatakan tidak begitu mahir bermusik. ’’Saya hanya berani bikin inovasi. Belum tentu musisi yang asli mau bikin inovasi,’’ katanya, lalu terkekeh.

Selama ini tempat latihan musiknya pun bebas. Bisa di rumah, di rumah tetangga, atau di pinggir kali.

Lik Ju dan timnya pernah memperdeng­arkan musik gerabah di berbagai kampus, pesantren, kelompok pengajian, maupun acara kesenian. Sesuai dengan kodrat tanah yang dekat dengan manusia, musik gerabah bisa menyesuaik­an sekitarnya. (*/c15/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia