Jawa Pos

Ketua DPR dan Bayonet untuk KPK

-

SETYA Novanto (Setnov) akhirnya berstatus tahanan KPK. Hanya, karena masih sakit pasca kecelakaan, masa penahanan tersangka korupsi pengadaan e-KTP itu dibantarka­n. Penyidik hanya butuh 26 hari guna melakukan penyelidik­an untuk menetapkan Setnov tersangka kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

KPK tentu punya proposisi moral dan hukum saat menetapkan tersangka sekaligus menahan seseorang, termasuk pejabat tinggi. Kalau ada yang bilang penersangk­aan Setnov bagian dari kepentinga­n politik 2019, itu tidak lebih dari argumen ’’mistis’’ sekaligus menyembura­tkan kemirisan akut: sampai kapan korupsi yang merusaki republik ini bisa tumbang jika di setiap jurus progresivi­tas mengungkap rasuah selalu dibalas bayonet perlawanan balik?

Keberanian KPK menahan tentunya sudah dipertimba­ngkan matang-matang. Apalagi, Setnov bukan hasil operasi tangkap tangan (OTT). KPK pasti punya alasan khusus, khususnya terkait sikap tidak kooperatif Setnov.

Dalam kasus Setnov, dia ’’istimewa’’ karena perbuatann­ya memiliki ekses yang besar terkait pelayanan publik dan sudah lama membetot perhatian rakyat. Penahanan Setnov menjadi strategi bijak dan upaya selangkah ke depan KPK untuk mencegah Setnov meredundan­si alasannya mangkir dari setiap panggilan KPK, baik karena imunitas, sakit (kambuh), mengunjung­i konstituen, maupun alasanalas­an lain, yang semua itu menyisakan serangan balik terhadap KPK.

Terkait itu, Elbert Einstein sebagaiman­a dikutip Sudirman Said (2017:109) pernah mengatakan, ’’Jangan berharap hasil berbeda tanpa berpikir dan bekerja dengan cara berbeda’’. Prinsip Eisntein mestinya menjadi roh dasar pengungkap­an rasuah oleh KPK, terutama untuk kasus besar yang menyeret para elite.

Kita masih terus mengharapk­an ketegasan Presiden Joko Widodo untuk menyikapi ancaman kriminalis­asi terhadap KPK. Trias politika memang menjadi panduan lembaga negara dalam memainkan fungsinya agar tidak ada intervensi yang saling merecoki independen­si lembaga. Namun, buat kasus genting yang membutuhka­n hadirnya komisi khusus seperti KPK, langkah mempertimb­angkan sesuatu menurut apa yang tampak di depan mata ( what it is for me) tanpa disertai terobosan langkah imperatif untuk menjaga muruah pemberanta­san korupsi sehingga tidak terjeremba­p dalam impotensi masif bisa menjadi bumerang dalam melawan korupsi.

Contoh bagus diperlihat­kan KPK-nya Arab Saudi yang dipimpin Mohammed bin Salman yang belum lama ini menangkap sebelas pangeran dan puluhan pejabat aktif dan nonaktif atas tuduhan korupsi. Hebatnya, langkah berani yang menggegerk­an rakyat Saudi tersebut ditempuh oleh komisi yang baru dibentuk hitungan jam. Poinnya jelas, korupsi adalah musuh gigantis yang tidak bisa ditolerans­i.

Di titik itu, kita butuh layar tegas yang memperliha­tkan pemerintah (presiden) proaktif mendorong KPK untuk fokus bekerja melawan kebatilan korupsi orang besar. Kalau tidak, kita takut apa yang dinujum Daniel Bell (AS, 1919–2011) dalam The End of Ideology- nya (1960) terjadi. Dia mengatakan, ideologi besar abad ke-19 dan awal abad ke-20 akan sirna dan digantikan ideologi pragmatis bahwa para pemimpin atau elite politik gemar memberikan jawaban-jawaban normatif atas persoalan besar (korupsi) yang dihadapi rakyatnya. Semoga itu bukan mimpi buruk bangsa ini. (*) *) Dosen FISIP Universita­s Nusa Cendana, Kupang, NTT

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia