Jawa Pos

Semua Hanya Permainan Belaka

-

SEMUA kehebohan kasus e-KTP merupakan permainan belaka. KPK telah membohongi publik dengan menyatakan bahwa kerugian negara akibat korupsi KTP elektronik sebesar Rp 2,3 triliun.

Padahal, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna­n (BPKP) menyampaik­an hasil audit terhadap proyek itu. Lembaga tersebut menyatakan tidak ada persoalan harga dalam proyek itu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga jelas menegaskan bahwa tidak ada kerugian dalam megaproyek tersebut. Yang ada hanya masalah kurang bayar beberapa miliar rupiah.

Jangan lupa, ada keterlibat­an pimpinan KPK dalam kasus yang menjadi gonjang-ganjing itu. Ketika perkara tersebut terjadi, Ketua KPK Agus Rahardjo menjabat kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Jika ditelusuri, munculnya angka kerugian Rp 2,3 triliun berasal dari keterangan Nazaruddin setelah Agus dilantik sebagai ketua KPK. Saya juga menduga ada persekongk­olan orang kalah dalam kasus itu. Jadi, orang yang kalah bertemu dengan kelompok yang punya kepentinga­n politik. Yaitu, mereka yang ingin merebut tiket Golkar.

Awalnya KPK mengatakan mastermind dalam kasus itu adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningru­m, dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) yang kala itu menjadi ketua Fraksi Partai Golkar. Tetapi, saat ini yang diburu hanya Setnov. Sedangkan keterlibat­an Anas dan Nazar seolah-olah tidak ada.

KPK tidak berani membongkar keterlibat­an partai penguasa yang saat kasus itu terjadi sedang memimpin. Yang diburu hanya Partai Golkar.

E-KTP bukanlah kasus hukum, tapi sudah masuk ranah politik. Saya me- lihat ini merupakan perebutan kursi 2019. Upaya merebut 14,3 persen suara Golkar. Itulah yang sekarang menonjol.

KPK terus ngotot Setnov harus masuk penjara. Bahkan, saya mendengar, ada pimpinan KPK yang menyatakan bahwa Setnov merupakan mahkota KPK. Kalau politikus senior Golkar itu tidak dipenjara, hancurlah KPK. Setnov membenarka­n informasi tersebut. Bahkan, saya pernah mendengar Setnov menyatakan, ada permintaan presiden dan wakil presiden dalam masalah tersebut.

Persoalan itu juga menjalar ke kepolisian. Misalnya, presiden melarang polisi memproses pelanggara­n hukum pejabat KPK.

Pansus Hak Angket KPK bisa masuk persoalan itu dan menelusuri kemungkina­n keterlibat­an presiden dalam menginterv­ensi perkara hukum dan tidak percaya kepada Mabes Polri, menjatuhka­n kredibilit­as para penyidik. Dampaknya, masyarakat tidak akan percaya kepada penegak hukum karena bisa diinterven­si presiden.

KPK juga berupaya melakukan lobilobi terhadap Pansus Angket KPK. Mereka mendekati Setnov. Saya menyatakan bahwa angket merupakan hasil dari paripurna. Itu merupakan usulan anggota DPR dan tidak ada kaitannya dengan kekuatan pimpinan DPR. Jadi, pansus angket tidak bisa dinego. Bahkan, ada pimpinan KPK yang melobi agar tidak dipanggil pansus. Saya bilang tidak bisa lantaran angket adalah mekanisme independen.

Menurut saya, sudah saatnya KPK dibubarkan karena sudah tidak relevan. Lembaga itu produsen kekacauan hukum dan produsen manipulasi dalam tradisi hukum. Banyak kasus yang tidak diungkap. Misalnya, kasus Bank Century, BLBI, dan Sumber Waras. Bubarkan KPK dan serahkan pemberanta­san korupsi kepada Polri dan kejaksaan. (*/lum/c10/agm) *) Wakil ketua DPR

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia