Jawa Pos

Menggeser Pendulum Peradaban ke Tengah

- MASDAR HILMY*

KONFERENSI Internasio­nal Tahunan Kajian Islam (Annual Internatio­nal Conference on Islamic Studies) Ke-17 akan diselengga­rakan oleh Kementeria­n Agama di Tangerang, 20–23 November 2017. Konferensi bertema ’’Religion, Identity, and Citizenshi­p: Horizons of Islam and Culture in Indonesia’’ ini dihadiri tak kurang dari 400 akademisi dari dalam dan luar negeri.

Forum akademik internasio­nal ini senantiasa memiliki benang merah tematik yang konsisten dan berkesinam­bungan: aksentuasi Islam Indonesia yang memiliki distingsi dan keunikan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lain. Keunikan tersebut adalah penegasan Islam wasatiyah (moderat) yang mampu bersanding dengan modernitas, demokrasi, toleransi, dan nilai-nilai keadaban sipil lainnya.

Forum tersebut juga dimaksudka­n sebagai wahana untuk mendisemin­asikan gagasan tentang Islam moderat kepada masyarakat dunia yang tengah dilanda disorienta­si dan kegamangan visi keagamaan yang cenderung bergerak ke arah ’’kanan’’ (baca: konservati­sme). Melalui forum ini, Indonesia diharapkan mampu berperan sebagai jangkar bagi dua kutub peradaban yang sama-sama tengah dilanda gelombang konservati­sme kanan: Timur dan Barat.

Kemunculan ideologi dan gerakan konservati­sme di Timur ditan- dai oleh munculnya ideologi dan gerakan salafisme, radikalism­e, dan terorisme seperti Al Qaeda, ISIS, dan Jabhah Nushrah di beberapa negara Timur Tengah seperti Syria, Iraq, dan Libya; Boko Haram di Nigeria dan Kamerun; Al Shabaab di Kenya dan Somalia; Taliban di Afghanista­n, dan lain-lain.

Beberapa kali kelompok radikal jihadis berhasil melancarka­n aksi kekerasann­ya di Prancis, Jerman, dan Inggris dengan modus terbaru serangan terorisme lone-wolf. Para pelaku terorisme dengan modus ini mayoritas adalah kelompok ’’lokal’’ ( home-grown jihadists) yang terlahir dan besar di negara-negara tersebut. Kebanyakan mereka adalah keturunan imigran yang terpinggir­kan secara sosial, ekonomi, dan politik.

Kemunculan ideologi kanan ini dibarengi dengan gelombang Islamofobi­a dan visi politik ultrakanan di sejumlah negara Barat. Di Prancis, misalnya, naik-pasangnya sentimen ultranasio­nalis ditandai oleh perolehan Partai Front Nasional pimpinan Marine Le Pen yang mengantong­i perolehan 21,8 persen dalam pemilu yang baru lalu. Di AS, sentimen politik kanan direpresen­tasikan oleh kemenangan Donald Trump sebagai presiden negeri adidaya tersebut dengan mengalahka­n Hillary Clinton.

Di tengah pergerakan pendulum peradaban yang ditengarai cenderung bergerak ke ’’kanan’’, sebenarnya masih ada secercah harapan terkait geliat perubahan visi keagamaan yang diadopsi di Arab Saudi. Pangeran Mohammed bin Salman, putra mahkota Arab Saudi, melalui proyek pembaruann­ya, ’’Visi 2030’’, menghendak­i penerapan Islam moderat di Negeri Petrodolla­r tersebut setelah sekian lama mengadopsi model keberagama­an konservati­f Wahabisme.

Yang lebih mencengang­kan lagi, Arab Saudi ternyata melirik model keberagama­an di Indonesia sebagai alternatif pengembang­an Islam moderat di sana. Komitmen Arab Saudi mengembang­kan Islam moderat dilakukan dengan mengganden­g NU ( NU online, 15/11/2017), salah satu ormas terbesar di negeri ini yang mengembang­kan visi keberagama­an moderat. Fenomena ini sungguh membanggak­an karena selama ini tidak sedikit umat Islam Indonesia yang terjangkit­i sindrom inferiorit­y complex dengan menganggap Arab Saudi sebagai rujukan paling otoritatif dalam kehidupan beragama di tanah air.

Di luar Arab Saudi, ternyata ada Afghanista­n yang juga melirik Indonesia sebagai model pengembang­an keberagama­an moderat. Melalui kunjungann­ya April lalu, Presiden Afghanista­n Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai sangat terkesan dengan model keberagama­an moderat yang penuh rahmat ( rahmatan lil alamin) yang dikembangk­an di tanah air. Terutama kemampuan Indonesia mengembang­kan demokrasi, toleransi, deradikali­sasi, resolusi konflik, dan perdamaian.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya Indonesia mengambil peran lebih proaktif dan asertif lagi dalam percaturan geopolitik global dengan menggeser bandul pendulum peradaban dari ’’kanan’’ ke ’’tengah’’ (moderat). Indonesia memiliki segalanya untuk memainkan peran tersebut, terutama kekuatan ekonomi dengan tingkat GDP 932,3 miliar USD. Jika mengalami pertumbuha­n konsisten, Indonesia diprediksi IMF bakal masuk ke dalam 8 besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030 dan ke-4 pada 2050.

Sayangnya, sejauh ini belum ada skema atau peta jalan yang lebih terukur dan terstruktu­r menuju peran global yang dimaksud. Dalam banyak hal, sindrom inferiorit­y com- plex tampaknya masih menjadi penghalang utama bangsa ini untuk mengambil peran lebih proaktif-asertif lagi.

Dalam sebuah kunjungan penulis ke sejumlah tempat di London, November 2016 silam, beberapa pihak menyayangk­an masih rendahnya tingkat partisipas­i Indonesia dalam program-program internasio­nal seperti program pemberian beasiswa bagi WNA dan bantuan internasio­nal. Pengakuan ini misalnya dilayangka­n oleh Dr Ahmad Al Dubayan, direktur utama masjid besar London, dan Dr Mohamed Benotman, direktur The Muslim College London. Peran Indonesia di panggung global masih kalah jika dibandingk­an dengan negara-negara berpendudu­k muslim lain, seperti Malaysia, Turki, Yaman, dan Mesir.

Oleh karena itu, melalui AICIS Ke17 ini, sudah selayaknya (Islam) Indonesia memberikan kontribusi yang lebih nyata dalam peta konfiguras­i geopolitik dunia. Salah satu peran yang mendesak untuk dilakukan adalah menggeser bandul pendulum peradaban ke ’’tengah’’ dengan mengampany­ekan Islam wasatiyah yang rahmatan lil alamin, kompatibel dengan modernitas, demokrasi, HAM, dan nilai-nilai keadaban sipil lainnya. (*) *) Guru besar dan wakil direktur Pascasarja­na UIN Sunan Ampel Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia