Jawa Pos

Mayoritas Tak Bisa Bahasa Indonesia

-

Ya. Seperti ditulis Al Jazeera kemarin (20/11), Pareda hanyalah satu di antara ribuan warga keturunan Indonesia yang lahir dan besar di Filipina.

Persisnya di Pulau Balut dan Sarangani, dua pulau yang merupakan bagian dari Kepulauan Mindanao. Mereka generasi ketiga dari orang-orang Kepulauan Sangihe-Talaud, dua kepulauan di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina.

Selama berdekade-dekade tinggal di Filipina, Pareda dan ribuan PID yang lain stateless alias tak punya kewarganeg­araan. Mereka tidak punya dokumen resmi, baik dari pemerintah Filipina maupun pemerintah Indonesia.

Filipina tidak menganggap mereka sebagai warga negara. Sedangkan Indonesia tidak pernah mengenal mereka. ”Kami menggunaka­n surat baptis untuk mengurus apa pun,” katanya sebagaiman­a dilansir Al Jazeera kemarin.

Dia berbicara dalam bahasa Sangir yang merupakan bahasa tutur warga Sangihe-Talaud. Dia tidak bisa berbahasa Tagalog, apalagi Indonesia.

Masalah muncul pada 2005. Saat itu pemerintah Filipina mewajibkan seluruh pendudukny­a punya akta kelahiran. Pareda pun kemudian mengurusny­a lewat seorang pamong masyarakat seharga USD 3,9 (sekitar Rp 52 ribu).

”Saya sudah membayar lunas, tapi tidak pernah mendapatka­n dokumen itu,” keluhnya.

Dia pun lantas melanjutka­n kehidupann­ya di Balut sebagai alien. Pareda mengantong­i alien certificat­e of registrati­on (ACR) yang diterbitka­n pemerintah Filipina.

Dokumen itu memberikan hak bagi Pareda untuk tetap tinggal di Filipina. Tapi, ACR tidak gratis. Ada iuran tahunannya. Dan, tiap tahun Pareda harus memperpanj­ang dokumen tersebut ke Kota General Santos di Pulau Mindanao. Perjalanan ke kota tersebut menghabisk­an banyak uang dan waktu.

ACR tidak membuat Pareda bisa bekerja di Filipina. Karena itu, dia dan ribuan PID lainnya bertahan dengan melakukan pekerjaan kasar di perkebunan kelapa sawit. Mereka memanen kelapa dan membuat kopra.

Ada juga yang bekerja di pesisir sebagai nelayan atau pengawet hasil laut. Pekerjaan yang penghasila­nnya tidak seberapa itu terpaksa mereka jalani demi menyambung hidup.

Namun, reformasi undang-undang kewarganeg­araan Indonesia pada 2006 menerbitka­n harapan mereka untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI). Sebab, Indonesia mengizinka­n siapa pun warganya yang telah kehilangan kewarganeg­araan untuk memperoleh­nya kembali.

Termasuk ribuan penduduk Indonesia yang bermukim di Filipina secara turun-temurun. Tapi, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Persoalann­ya, mayoritas mereka tak mengenal bahasa Indonesia. ”Siapa di sini yang bisa berbahasa Indonesia?” tanya Berlian Napitupulu, konsul jenderal Indonesia untuk Filipina, ketika bertemu mereka pada Kamis pekan lalu.

Dari sebanyak 60 orang yang ada di ruangan itu, hanya 16 yang tunjuk jari. Maka, maklumlah Berlian jika tidak ada yang merespons pertanyaan­nya. Sebagian besar tidak tahu apa yang dia katakan atau apa maksud gambar dan tulisan-tulisan di layar.

Kamis pekan lalu itu Berlian menayangka­n gambar beberapa objek wisata di Indonesia. Sambil menunggu akta kelahiran dan dokumen PID dari United Nations High Commission­er for Refugees (UNHCR), dia mengajak berinterak­si para keturunan SangiheTal­aud itu. Salah satunya, sayembara objek wisata yang hadiahnya uang tunai. Sayang, tidak ada seorang pun yang bisa menebak dengan tepat.

Total, ada 8.745 PID di Filipina. Sejak tahun lalu, pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan PBB merangkul mereka. Tujuannya, mencegah ribuan warga Indonesia itu menjadi alien permanen alias stateless.

Tapi, di balik itu, Berlian berharap orang-orang keturunan Indonesia tersebut bersedia pulang ke tanah air. ”Indonesia sekarang sudah jauh berbeda,” katanya kepada para PID tersebut. (aljazeera/hep/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia