Jawa Pos

Berprinsip di Tengah Hutan Semua Saudara

-

Namun, selama tiga tahun terakhir, waktu mereka memang lebih banyak dihabiskan di sungai ketimbang dengan istri dan anak. Tak salah jika Muid dan Tarjo mendapat julukan itu. ” Lha iya. Bojone gak diurus, malah ngubekubek kaline wong (Istrinya tidak diurus, malah mengobok-obok sungai orang, Red),” goda Muid kepada Tarjo yang baru saja datang di ujung tanggul.

Ketimbang Muid, waktu Tarjo bersama keluarga memang lebih minim. Keluargany­a ada di Jombang. Sedangkan dia tinggal bersama para petugas pematusan di markas satgas pematusan di Simo, Tandes.

Sementara itu, Muid tetap bisa pulang karena rumahnya tidak terlalu jauh. Di Gedangan, Sidoarjo. Jika istri kangen, obat sementara adalah sekadar telepon.

Percakapan ringan antara Muid dan Tarjo terjadi di atas tanggul Kali Lamong di Kecamatan Benowo. Tanggul setinggi 2 meter dari permukaan air tersebut menjadi benteng banjir Surabaya Barat.

Minggu siang (19/11) itu, kami berada di ujung tanggul yang baru saja dikerjakan. Belum kering. Jika diinjak, urukan ambles 5 sentimeter. Muid dan mandornya, Purwo Budoyo, lebih dulu mencapai ujung tanggul untuk mendiskusi­kan kelanjutan proyek. Tapi, napas Tarjo masih ngos- ngosan. Maklum saja, sepeda motor harus diparkir di pos terakhir yang jaraknya lebih dari 500 meter dari ujung tanggul. Satu-satunya cara untuk sampai, ya cuma jalan kaki. Atau, mengganti roda motor dengan ’’ ban kotak-kotak’’ alias ’’ ban cangkul’’. Roda off-road.

Setengah jam sebelumnya, kami berangkat lebih dahulu. Tarjo menyaranka­n agar sepatu dititipkan di pos. Katanya, tidak akan hilang. Di tenda berangka besi dan berlapis terpal itu, maling pun ogah datang. Kalaupun ada maling yang benar-benar niat mencuri, paling-paling mereka cuma mendapat sepatu kotor dan galon air mineral yang sudah kering. Jangan harapkan fasilitas mewah di situ.

Perjalanan memang lebih nyaman dengan cara nyeker atau bertelanja­ng kaki. Jika memakai sepatu, lumpur bakal cepat menempel di sol. Langkah bisa semakin berat. Jika memakai sandal, siap-siap saja terjungkal. Sebab, sandal lebih lengket pada lumpur ketimbang telapak kaki pemiliknya.

Di tempat yang jauh dari ke- bisingan kota itu, mereka mendiskusi­kan kelanjutan tanggul. Tidak ada suara hiruk pikuk mobil, sirene, dan klakson. Yang ada hanya suara samar-samar diesel pompa petambak dan suara berisik burung kowak yang bersarang di seberang sungai.

Seberang sungai itu adalah wilayah Cerme, Gresik. Belum ditanggul sama sekali. Jika banjir, mau tidak mau, air meluber ke tambak di sana. Kewenangan menanggul Kali Lamong sejatinya ada di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Karena anggaran dari pusat masih seret, pemkot akhirnya berinisiat­if untuk menanggul sendiri anak sungai yang mengalir dari pegunungan Kendeng di Lamongan itu.

Belasan kilometer Kali Lamong yang berkelok-kelok tersebut menjadi batas wilayah Gresik dan Surabaya. Pemkot bakal terus menanggul hingga ke utara. Ke muara.

Idealnya, kedua wilayah seharusnya melakukan hal yang sama agar air bisa langsung ke laut tanpa mampir dulu ke tambak warga. Namun, proyek penanggula­n itu membutuhka­n tenaga dan biaya yang cukup tinggi.

Meski di sisi Gresik belum ada tanggul, pekerjaan tetap harus dilanjutka­n. Di utara kami, sudah ada pekerjaan yang menunggu. Semak belukar harus segera diratakan. Mayoritas semak-semak itu berisi pohon waru yang dibalut tumbuhan merambat. Kayu-kayu pohon waru setinggi 2 meter tersebut tidak diangkut. Tapi, ikut ditimbun dengan tanah. Sebab, akar dan batang pohon menjadi fondasi kuat tanggul. Tanpa akarakar itu, puluhan ton urukan tanah bakal jadi bubur lumpur yang terbawa arus. Terbuang sia-sia.

Meski siang itu tidak hujan, arus Kali Lamong cukup kuat. Tampaknya, daerah hulu sungai sedang penuh. Di selatan, awan gelap terlihat menggulung. Purwo, sang mandor, pun waswas jika badai datang lagi.

Satgas sebenarnya tidak takut air hujan. Yang mereka takutkan adalah petir yang menyambar. Saat berada di tanah lapang, ekskavator yang digunakan untuk bekerja menjadi sasaran empuk petir. Jika sudah ada badai, pekerjaan harus dihentikan. Para pekerja harus berkumpul di tenda sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan reda, keadaan tanggul harus terus dipantau. Siapa tahu ada kerusakan karena material tanggul hanya tanah.

Karena itulah, sekali lagi, akar pepohonan menjadi fondasi kuat. Tetapi, di sejumlah tempat tidak ada pohon dan semak belukar. Sebagai penggantin­ya, tanah harus diperkuat dengan menancapka­n terucuk (semacam pasak) bambu. Untuk memasang terucuk itu, Tarjo dan Muid dibantu satgas lainnya.

Selama tiga tahun terakhir, hanya itulah yang mereka kerjakan. Meratakan semak belukar, memasang terucuk bambu, menimbun tanggul, dan berlindung di tenda saat badai. Tidak boleh bosan.

Nasib warga sekitar bergantung pada kegigihan para ’’Bang Toyib”. Entah berapa kilometer tanggul yang mereka tuntaskan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang hafal.

” Adoh ngalor-ngidul. Rombong bakso gak lewat ( Jauh utaraselat­an. Pedagang bakso tidak lewat, Red),” gurau Muid, pria 36 tahun itu. Mereka belum makan siang. Waktu istirahat siang itu mereka relakan untuk menemani Jawa Pos melihat tanggul.

Dari kejauhan, pria kurus dengan kaus putih berjalan di atas tanggul. Tangan kirinya menenteng kantong plastik. ” Sopo iku, (Siapa itu, Red)” tanya Purwo. Muid melihat lebih jeli. ” Oooh. Wong (orang, Red) makam,” sahut Muid yang sudah hafal dengan wajah pria tersebut.

” Monggo, Mas, anget-anget ( hangat- hangat, Red),” ujar Muhtarom, warga Tambak Dono yang menjaga makam di dekat tanggul. Muhtarom datang setiap Minggu untuk menyabit rumput di makam. Dia sering membagi bekal makan siangnya kepada para petugas.

Satu kantong plastik tahu goreng dan ote-ote hangat itu pun menjadi santapan yang nikmatnya tiada tara. Muhtarom datang tepat waktu. Tepat sekali.

Di tengah hutan, semua orang bersaudara. Istilah itu diyakini Muid. Harus tolong-menolong jika ingin selamat. Tanpa petugas tanggul, makam yang dijaga Muhtarom bakal tergenang air setiap sungai meluap. Gorengan tersebut menjadi wujud terima kasihnya. Sedangkan tanpa Muhtarom, para petugas bisa pingsan karena kurang kalori.

Setelah Muhtarom pamit untuk kembali ke makam, Tarjo ingat suatu kisah. Alat berat yang dia tumpangi pernah terbawa arus. Saat itu hujan turun dan aliran sungai cukup deras. Namun, perbaikan tanggul harus segera dilakukan. Ekskavator pun dinaikkan ke ponton agar bisa mengapung di air.

Kendaraan amfibi itu pun bergerak dengan mengaitkan tangan ekskavator ke badan tanggul. Melawan arus. Meski awalnya berjalan mulus, tangan ekskavator akhirnya tidak bisa menjangkau badan tanggul. Alat besar itu akhirnya terseret. Berkalikal­i Tarjo mencoba untuk meraih badan tanggul. Tapi gagal.

Pada saat itu, dia berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Kenapa bisa tenang, apa karena bisa berenang? ”Enggak bisa,” jawabnya singkat, lalu terkekeh.

Tarjo akhirnya bisa selamat setelah terseret 300 meter. Dia berhasil mengaitkan ekskavator­nya ke pinggir sungai.

Muid dan Tarjo meyakini bahwa pekerjaan menanggul Kali Lamong membawa risiko tinggi. Namun, sebagai prajurit pematusan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan (DPUBMP) Surabaya, mereka pantang menolak perintah.

Agar pekerjaan lancar, mereka selalu mengantisi­pasi kecelakaan fisik dan kecelakaan gaib. Maklum saja, banyak cerita masyarakat yang menyebutka­n bahwa di Kali Lamong banyak penungguny­a. ”Makanya kalau mau babat alas bilang dulu. Amit, Mbah,” ucap Muid.

Dengan begitu, Bang Toyib tetap bisa pulang dengan selamat. Seperti penggalan doa seorang istri di lagu Bang Toyib. Jika di jalan yang benar selamatkan­lah dia. Jika di jalan yang salah sadarkanla­h dirinya. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia