Jawa Pos

Tak Bisa Bahasa Indonesia, Hafal Indonesia Raya

KJRI Targetkan 80 Persen PID Dapat Kewarganeg­araan Tahun Ini

-

DAVAO CITY– Mayoritas dari mereka memang tak menguasai bahasa Indonesia. Ketika disodori berbagai objek wisata di tanah air, mereka juga tak paham

Tapi, begitu diminta menyanyika­n lagu Indonesia Raya, giliran Konsul Jenderal RI di Davao Berlian Napitupulu yang tak kuasa menahan haru. “Mereka hafal, enggak tahu dari mana. Padahal, mereka kan puluhan tahun nggak ke Indonesia,” tutur Berlin kepada Jawa Pos yang mengontakn­ya melalui sambungan telepon kemarin (21/11).

Mereka yang dimaksud adalah puluhan PID ( people of Indonesian descent/orang-orang keturunan Indonesia) yang ditemui Berlian di Davao Occidental pada Kamis pekan lalu (16/11). Total ada 8.745 PID di Filipina yang tengah diperjuang­kan KJRI Davao. Agar tak sampai mendapat cap stateless alias tak berkewarga­negaraan.

’’Ada 2.425 orang keturunan Indonesia yang telah menjadi WNI,’’ kata Konsul Jenderal RI di Davao Berlian Napitupulu.

Kebanyakan di antara mereka menetap di Kepulauan Mindanao di selatan Filipina yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Nah, daritotalP­IDtersebut, terangBerl­ian, yang berbagai dokumennya telah diperiksa sebanyak 5.208 orang.

Dari jumlah itu, selain 2.425 yang sudah berstatus WNI tadi, 2.012 PID lainnya telah ditetapkan sebagai warga negara Filipina. Semua proses mendapatka­n kewarganeg­araan itu, kata Berlian, dilakukan di KJRI Davao.

’’Sementara yang lainnya masih perlu pendalaman dokumen,” katanya kepada Jawa Pos melalui sambungan telepon kemarin (21/11).

Mengutip Al Jazeera, para PID itu adalah keturunan warga Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud yang beremigras­i ke Filipina ( Jawa Pos, 21/8). Dua kepulauan itu memang berbatasan dengan bagian selatan negeri yang beribu kota di Manila itu.

Lahir dan menghabisk­an puluhan tahun di sana, para PID tersebut tetap tak menguasai bahasa Tagalog. Juga tak mengenal bahasa Indonesia. Mereka hanya menguasai bahasa Sangir, bahasa ibu warga Sangihe-Talaud.

Masalah muncul pada 2005 saat pemerintah Filipina mewajibkan seluruh pendudukny­a punya akta kelahiran. Filipina tak mengakui dan Indonesia juga tak mengenal mereka. Jadilah para PID, sebutan yang tercantum dalam akta kelahiran yang dikeluarka­n UNHCR (badan PBB yang mengurusi pengungsi), itu hanya mengantong­i alien certificat­e of registrati­on.

Reformasi undang-undang kewarganeg­araan Indonesia pada 2006 menerbitka­n harapan mereka untuk menjadi WNI. Sebab, Indonesia mengizinka­n siapa pun warganya yang telah kehilangan kewarganeg­araan untuk memperoleh­nya kembali.

Berlian mengatakan, jika tidak segera diselamatk­an, orang- orang keturunan Indonesia itu tak hanya akan menjadi alien yang tidak berdokumen. Lebih parah dari itu, mereka bisa-bisa dilabeli sta teless karena tidak memiliki kewarganeg­araan.

”Targetnya, di tahun ini kami bisa selesaikan (status) 80 persen dari 8.745 orang keturunan Indonesia itu,” ucapnya.

Setelah para warga keturunan Indonesia tersebut mendapat kepastian kewarganeg­araan Indonesia, KJRI akan mengurus dokumen-dokumen mereka. Berlian menambahka­n, KJRI tidak sertamerta memulangka­n mereka ke Indonesia, tapi memberikan opsi: tetap tinggal di Filipina atau pulang ke Indonesia.

”Jika mereka memutuskan untuk tetap tinggal, kami akan berikan paspor. Sementara itu, untuk mereka yang ingin pulang, kami akan buatkan SPLP (surat perjalanan laksana paspor),” terangnya.

Bagi mereka yang memutuskan tetap tinggal, paspor tersebut nantinya bisa digunakan untuk mengurus visa tinggal dan mencari pekerjaan. Selama ini, kata Berlian, karena tidak memiliki dokumen, mereka hanya bisa bekerja sebagai nelayan dan petani. Dengan adanya dokumen tersebut, mereka bisa mencari pekerjaan yang lebih baik.

Bagi para WNI yang memutuskan untuk pulang, KJRI pun memberikan kuesioner untuk mengetahui ke mana mereka ingin dipulangka­n. Beberapa opsi yang diberikan KJRI, antara lain, Sangihe, Talaud, Tahuna, dan Manado. ”Saat ini, kami masih mendata melalui kuesioner itu,” ujarnya.

Dari keseluruha­n PID di Filipina itu, hanya beberapa yang merupakan generasi kedua yang masih bisa berbahasa Indonesia. Selebihnya, mereka yang merupakan generasi ketiga atau keempat, tidak pernah tersentuh bahasa nasional Indonesia itu. Jadi, tak mengherank­an kalau Berlian sangat terharu ketika mereka masih bisa menyanyika­n lagu kebangsaan Indonesia.

Menurut Berlian, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia dan Filipina sebenarnya sudah sepakat untuk mengatasi permasalah­an PID. ”Ketika itu, mengatasin­ya dilakukan dengan melakukan pemulangan terhadap warga-warga keturunan Indonesia. Jumlahnya bisa 100, 200, atau 300 orang yang dipulangka­n,” sebutnya.

Namun, tahun ini, model penyelesai­an tersebut tidak lagi dilakukan. Sebab, yang dibutuhkan penyelesai­an secara sistematis dan komprehens­if.

Pengamat hukum internasio­nal Hikmahanto Juwana menilai, banyaknya PID di Filipina tersebut adalah sesuatu yang wajar. ” Kan masyarakat ini tidak kenal batas negara,” tutur Hikmahanto.

Hal seperti itu, lanjut dia, tidak hanya terjadi di perbatasan Indonesia-Filipina, tetapi juga di perbatasan lainnya. (and/c17/ttg)

 ?? KJRI DAVAO FOR JAWA POS ?? PEDULI: Berlian Napitupulu (tengah) berpose bersama para PID di Davao (16/11).
KJRI DAVAO FOR JAWA POS PEDULI: Berlian Napitupulu (tengah) berpose bersama para PID di Davao (16/11).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia