Stigma Setnov Melekat di Golkar
JAKARTA – Keputusan rapat pleno Partai Golkar yang tidak memberhentikan Setya Novanto (Setnov) dari jabatan ketua umum punya sisi negatif. Stigma Setnov sebagai tersangka korupsi dana e-KTP makin melekat dengan Partai Golkar yang kini berjuang meningkatkan elektabilitas.
”Menyelamatkan nama besar Partai Golkar jauh lebih penting daripada harus tetap berurusan dengan Setnov,” tutur pengamat politik Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dalam diskusi bertajuk Mencari Pemimpin Baru Partai Golkar di kantor DPP Kosgoro 1957 kemarin (22/11).
Menurut Ray, seharusnya rapat pleno Selasa malam lalu (21/11) tidak sekadar berisi pelimpahan kewenangan dari Setnov kepada Idrus Marham sebagai Plt ketua umum. Tapi juga bagaimana Golkar bisa menunjukkan posisi bahwa secara organisasi tidak terkait dengan tindakan Setnov sebagai individu. ”Jadi, seharusnya bukan hanya pelimpahan, tapi juga penonaktifan. Supaya Golkar punya komitmen kuat di pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua DPD Partai Golkar Jabar Dedi Mulyadi berbicara keras soal posisi Golkar saat ini. Di berbagai daerah elektabilitas Golkar mengalami penurunan. Misalnya di Jabar yang turun dari 18 persen menjadi 12 persen. ”Bahkan, di DKI Jakarta elektabilitas beringin (Golkar) berada di bawah 3 persen,” ujarnya.
Menurut Dedi, Golkar pernah mendapat hantaman jauh lebih hebat pada 1998. Kalah pada Pemilu 1999, tapi bisa bangkit pada Pemilu 2004. Yang terjadi saat ini, lanjut Dedi, sebenarnya hanya masalah teknis, yakni Golkar seperti tidak mau mengikuti kehendak publik.
”Ini sebenarnya masalah kecil. Yang harus dilakukan Partai Golkar adalah survei siapa yang diinginkan publik. Kalau Golkar sebagai pemilik rumah memilih berbeda dengan publik, ya tunggu kematian,” tandasnya. (bay/c9/fat)