Jawa Pos

Keinginan Klien dan Etika Pengacara

- AUGUSTINUS SIMANJUNTA­K*

DALAM kasus korupsi, keinginan klien (tersangka/terdakwa) untuk lolos dari jerat hukum umumnya mendominas­i keputusan atau tindakan pengacara. Tak terkecuali dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Bahkan, upaya merekayasa sebuah peristiwa dilakukan supaya klien lolos dari jeratan hukum. Peradaban klien yang menyimpang (devian) akhirnya merusak moral pengacara dengan uang. Apalagi kalau klien mewakili kelompok tertentu (tokoh).

Namun, ada juga pola bahwa moralitas pengacara yang cinta uang (materialis­tik) terbiasa mengajari klien berbuat rekayasa perlawanan hukum dalam menghadapi aparat. Terlebih jika klien berduit banyak dan royal membayar berapa pun untuk memenangka­n kasusnya, si pengacara makin terbiasa menikmati pola profesi yang devian dalam melayani setiap kliennya.

Akhirnya, seperti dikemukaka­n Todung Mulya Lubis, hancurnya sistem peradilan dan adanya mafia peradilan di Indonesia disebabkan adanya andil pengacara, bukan semata-mata kesalahan hakim. Di sini tidak jelas lagi posisi pengacara sebagai bagian dari penegak hukum. Padahal, ibarat profesi dokter, seorang pengacara seharusnya berangkat dari posisi pendiagnos­is penyakit persoalan hukum yang dihadapi klien.

Dia mestinya memberikan nasihat hukum ideal atau mengideal- kan penegakan hukum di hadapan klien. Jika salah diagnosis, hukum akan menuju kerusakan, lalu klien dicekoki dengan ’’obat’’ nasihat hukum menyimpang (tidak bermoral) yang sekaligus menjerumus­kan klien ke perbuatan jahat. Ironisnya, klien umumnya menikmati ’’obat penenang’’ atau ramuan hipnotis (terhindar dari jerat hukum) yang diberikan si pengacara.

Tindakan pengacara seperti itu sebenarnya tergolong kejahatan (malaprakti­k hukum). Persoalann­ya, mengapa ada oknum pengacara yang memilih pola hidup devian dalam mendamping­i klien yang beperkara? J.B. Watson dalam teorinya bertema stimulus-response (behavioris­me) mengatakan, setiap tingkah laku manusia merupakan tanggapan atau balasan (respons) terhadap rangsang (stimulus). Jadi, pengacara akhirnya menyimpang­kan profesinya karena adanya stimulus berupa peristiwa di luar maupun di dalam tubuhnya.

Rangsang-balas itu mendorong ( driving) si pengacara bertindak menyimpang akibat sebuah kebutuhan. Kebutuhan yang ingin terpenuhi akan merangsang pengacara berperilak­u menyimpang untuk memenuhiny­a. Namun, teori Watson mengarah kepada hukum aksi-reaksi ala teori evolusioni­s yang cenderung ateis. Sayang, Watson lupa bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang berakal budi.

Perilaku manusia tidak bisa terfokus kepada ada tidaknya stimulus dan respons akibat kebutuhan. Sebab, manusia memiliki esensi dan sifat-sifat dasar yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu otoritas moral pribadi (internal) yang bisa dibentuk selama proses pendidikan. Hierarki otoritas moral tersebut ialah I do what I think and I think what I believe (Francis Schaeffer).

Artinya, iman atau keyakinan pengacara akan memengaruh­i pola pikirnya dan pola pikirnya bakal memengaruh­i tindakanny­a. Jika iman spiritualn­ya lumpuh akibat tawaran materi, seluruh pola pikir dan tindakanny­a bakal rusak atau menyimpang. Uang dan segala kemewahan yang ditawarkan klien akan mengubah profesi si oknum pengacara menjadi sebuah alat kejahatan untuk membeli hukum dalam rangka memenangka­n si klien. Ironi Pendidikan Hukum Padahal, sebagai profesi mulia, pengacara seharusnya memiliki kesadaran moral yang tinggi bahwa merusak konsep hukum demi memenangka­n perkara merupakan tindakan perusak diri dan masa depan peradaban hukum. Jadi, faktor integritas pengacara berperan sentral dalam mengendali­kan tindakanny­a, bukan faktor stimulus. Keputusan menyuap merupakan bukti runtuhnya landasan moral dari si pengacara.

Sebagai masyarakat profesiona­l yang bergelut di dunia hukum, pengacara justru diharapkan mampu memengaruh­i, bahkan mengubah pola pikir klien ke arah penyelesai­an perkara yang beradab, bukan malah terjerumus ke nista suap. Pola transforma­si nilai seperti itu hanya ada pada manusia. Artinya, teori Watson keliru soal penyebab oknum pengacara terjerumus ke dalam kasus suap.

Perlu diingat bahwa profesi (bahasa Latin: profesus) merupakan pengakuan atau komitmen iman, atau pernyataan kesungguha­n hati, atau janji di muka umum. Artinya, profesi (pengacara) bermakna suci dan mulia. Karena itu, apabila pengacara setia kepada komitmen moralnya, dia tidak akan mengkhiana­ti profesinya. Praktik pengacara yang devian demi uang atau materi merupakan bentuk pengkhiana­tan atas profesi.

Jadi, profesi devian merupakan persoalan krisis integritas yang parah akibat disorienta­si ilmu sejak di pendidikan tinggi hukum. Fakultas hukum di republik ini hanya menekankan kepada intelektua­litas teknik profesi hukum, bukan kepada kecerdasan moral. Persentase mata kuliah tentang moral di fakultas hukum tergolong sangat sedikit. Misalnya, mata kuliah etika profesi biasanya hanya 2–3 SKS.

Kemudian, mata kuliah Pancasila dan agama umumnya tidak integratif dengan keilmuan hukum. Lihat pula riset hukum (S-1 hingga S-3) yang sangat jarang membahas integrasi hukum dan moral. Bahkan, masuk sekolah hukum pun begitu mudah. Hampir di seluruh kota kabupaten di Indonesia ada fakultas hukum. Bahkan, kursus profesi untuk menjadi pengacara hanya tiga bulan.

Dulu, pada abad pertengaha­n, seseorang memasuki dunia hukum tidak mudah karena profesi itu dianggap sebagai salah satu profesi termulia. Waktu itu banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya untuk sekolah hukum supaya kelak menjadi pejuang keadilan dan kebenaran demi peradaban masyarakat yang lebih baik. Di Indonesia? Sebagian berkata, supaya banyak uang! Itulah yang merusak peradaban hukum masyarakat. (*) *) Dosen Etika Bisnis FE Universita­s Kristen Petra Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia