Keinginan Klien dan Etika Pengacara
DALAM kasus korupsi, keinginan klien (tersangka/terdakwa) untuk lolos dari jerat hukum umumnya mendominasi keputusan atau tindakan pengacara. Tak terkecuali dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Bahkan, upaya merekayasa sebuah peristiwa dilakukan supaya klien lolos dari jeratan hukum. Peradaban klien yang menyimpang (devian) akhirnya merusak moral pengacara dengan uang. Apalagi kalau klien mewakili kelompok tertentu (tokoh).
Namun, ada juga pola bahwa moralitas pengacara yang cinta uang (materialistik) terbiasa mengajari klien berbuat rekayasa perlawanan hukum dalam menghadapi aparat. Terlebih jika klien berduit banyak dan royal membayar berapa pun untuk memenangkan kasusnya, si pengacara makin terbiasa menikmati pola profesi yang devian dalam melayani setiap kliennya.
Akhirnya, seperti dikemukakan Todung Mulya Lubis, hancurnya sistem peradilan dan adanya mafia peradilan di Indonesia disebabkan adanya andil pengacara, bukan semata-mata kesalahan hakim. Di sini tidak jelas lagi posisi pengacara sebagai bagian dari penegak hukum. Padahal, ibarat profesi dokter, seorang pengacara seharusnya berangkat dari posisi pendiagnosis penyakit persoalan hukum yang dihadapi klien.
Dia mestinya memberikan nasihat hukum ideal atau mengideal- kan penegakan hukum di hadapan klien. Jika salah diagnosis, hukum akan menuju kerusakan, lalu klien dicekoki dengan ’’obat’’ nasihat hukum menyimpang (tidak bermoral) yang sekaligus menjerumuskan klien ke perbuatan jahat. Ironisnya, klien umumnya menikmati ’’obat penenang’’ atau ramuan hipnotis (terhindar dari jerat hukum) yang diberikan si pengacara.
Tindakan pengacara seperti itu sebenarnya tergolong kejahatan (malapraktik hukum). Persoalannya, mengapa ada oknum pengacara yang memilih pola hidup devian dalam mendampingi klien yang beperkara? J.B. Watson dalam teorinya bertema stimulus-response (behaviorisme) mengatakan, setiap tingkah laku manusia merupakan tanggapan atau balasan (respons) terhadap rangsang (stimulus). Jadi, pengacara akhirnya menyimpangkan profesinya karena adanya stimulus berupa peristiwa di luar maupun di dalam tubuhnya.
Rangsang-balas itu mendorong ( driving) si pengacara bertindak menyimpang akibat sebuah kebutuhan. Kebutuhan yang ingin terpenuhi akan merangsang pengacara berperilaku menyimpang untuk memenuhinya. Namun, teori Watson mengarah kepada hukum aksi-reaksi ala teori evolusionis yang cenderung ateis. Sayang, Watson lupa bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang berakal budi.
Perilaku manusia tidak bisa terfokus kepada ada tidaknya stimulus dan respons akibat kebutuhan. Sebab, manusia memiliki esensi dan sifat-sifat dasar yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu otoritas moral pribadi (internal) yang bisa dibentuk selama proses pendidikan. Hierarki otoritas moral tersebut ialah I do what I think and I think what I believe (Francis Schaeffer).
Artinya, iman atau keyakinan pengacara akan memengaruhi pola pikirnya dan pola pikirnya bakal memengaruhi tindakannya. Jika iman spiritualnya lumpuh akibat tawaran materi, seluruh pola pikir dan tindakannya bakal rusak atau menyimpang. Uang dan segala kemewahan yang ditawarkan klien akan mengubah profesi si oknum pengacara menjadi sebuah alat kejahatan untuk membeli hukum dalam rangka memenangkan si klien. Ironi Pendidikan Hukum Padahal, sebagai profesi mulia, pengacara seharusnya memiliki kesadaran moral yang tinggi bahwa merusak konsep hukum demi memenangkan perkara merupakan tindakan perusak diri dan masa depan peradaban hukum. Jadi, faktor integritas pengacara berperan sentral dalam mengendalikan tindakannya, bukan faktor stimulus. Keputusan menyuap merupakan bukti runtuhnya landasan moral dari si pengacara.
Sebagai masyarakat profesional yang bergelut di dunia hukum, pengacara justru diharapkan mampu memengaruhi, bahkan mengubah pola pikir klien ke arah penyelesaian perkara yang beradab, bukan malah terjerumus ke nista suap. Pola transformasi nilai seperti itu hanya ada pada manusia. Artinya, teori Watson keliru soal penyebab oknum pengacara terjerumus ke dalam kasus suap.
Perlu diingat bahwa profesi (bahasa Latin: profesus) merupakan pengakuan atau komitmen iman, atau pernyataan kesungguhan hati, atau janji di muka umum. Artinya, profesi (pengacara) bermakna suci dan mulia. Karena itu, apabila pengacara setia kepada komitmen moralnya, dia tidak akan mengkhianati profesinya. Praktik pengacara yang devian demi uang atau materi merupakan bentuk pengkhianatan atas profesi.
Jadi, profesi devian merupakan persoalan krisis integritas yang parah akibat disorientasi ilmu sejak di pendidikan tinggi hukum. Fakultas hukum di republik ini hanya menekankan kepada intelektualitas teknik profesi hukum, bukan kepada kecerdasan moral. Persentase mata kuliah tentang moral di fakultas hukum tergolong sangat sedikit. Misalnya, mata kuliah etika profesi biasanya hanya 2–3 SKS.
Kemudian, mata kuliah Pancasila dan agama umumnya tidak integratif dengan keilmuan hukum. Lihat pula riset hukum (S-1 hingga S-3) yang sangat jarang membahas integrasi hukum dan moral. Bahkan, masuk sekolah hukum pun begitu mudah. Hampir di seluruh kota kabupaten di Indonesia ada fakultas hukum. Bahkan, kursus profesi untuk menjadi pengacara hanya tiga bulan.
Dulu, pada abad pertengahan, seseorang memasuki dunia hukum tidak mudah karena profesi itu dianggap sebagai salah satu profesi termulia. Waktu itu banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya untuk sekolah hukum supaya kelak menjadi pejuang keadilan dan kebenaran demi peradaban masyarakat yang lebih baik. Di Indonesia? Sebagian berkata, supaya banyak uang! Itulah yang merusak peradaban hukum masyarakat. (*) *) Dosen Etika Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya