Kesabaran Ekstra untuk Penyelesaian dan Pewarnaan Berulang
Mata pelajaran muatan lokal yang mesti diampu guru tidak tetap (GTT) yang satu ini berbuah manis. Berlatar belakang pelukis, Guntur Sasono menerapkan teknik membatik dengan kuas.
DARI kejauhan tampak seorang pria duduk menghadap bentangan kain di teras rumah. Dengan posisi membelakangi jalan, tangan kanannya bergerak maju mundur seolah sedang mengerjakan sesuatu.
Semacam wadah plastik disangga lengan satunya. Perlahan dia mulai bergeser searah bentangan kain kelir biru bercorak itu. Menuju sisi berlawanan, pria tersebut kini menghadap jalan yang tidak begitu lebar di depan rumahnya. ”Di luar mengajar, kesibukan saya ya seperti ini,” ungkap Guntur Sasono, pria itu, sembari setengah membentangkan tangannya, menunjuk batik lukis buatannya.
Sejak 2007 tuan rumah salah satu kediaman di Jalan Kartini, Desa Carat, Kecamatan Kauman, tersebut mengajar di SMAN 1 Kauman. Guntur mengampu mata pelajaran seni dengan status GTT.
Dari profesi itu perkenalannya dengan batik bermula. Guntur mengombinasikan teknik batik dengan ilmu lukis yang dikuasai sebelumnya. ”Saat diminta mengajar muatan lokal membatik, saya belum paham benar apa itu batik,” kenangnya dengan masih tetap mewarnai bentangan kain di hadapannya.
Belajar, belajar, dan belajar, Guntur terus menambah referensi tentang batik. Dia getol menonton video tutorial membatik di internet. Tiap proses diamatinya dengan saksama. Satu tahun Guntur belajar sekaligus praktik apa yang dipelajarinya.
Kalau biasanya batik dikerjakan dengan canting, Guntur memilih kuas sebagai senjata. ”Batik teori atau tekniknya, alat yang dipakai bebas,” ungkap Guntur, lantas meletakkan kuas beserta wadah plastik berisi pewarna.
Sejak saat itu jemari alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut tidak hanya terbiasa memegang spidol, menerangkan materi di depan kelas. Guntur juga sering membasuh tangan, menghilangkan cipratan zat warna reaktif setelah membatik.
Sekarang dua jenis karya membatik berhasil dibuatnya. Satu masuk karya seni murni. Satunya lagi karya yang bisa dimanfaatkan alias karya seni terapan. ”Lukisan batik lukis dan batik lukis sebutnya.
Dengan latar belakang pelukis, Guntur lebih dulu mempraktikkan batik lukis berwujud lukisan. Yakni menggoreskan kuas di atas kanvas dengan teknik batik. Tangannya bebas menarikan kuas di kain kanvas sesudah pembuatan pola dengan malam.
Guntur menerangkan, pembuatan pola dengan jenis malam putih juga langsung dilakukan dengan kuas. ”Tapi, kalau ada bagian detail seperti wajah manusia, harus pakai pola dengan pensil dulu,” imbuhnya.
Di samping nilai seninya, lukisan dengan teknik batik yang diterapkan Guntur butuh kesabaran ekstra untuk penyelesaian. Proses pewarnaan yang berulang-ulang disebutnya sebagai penyebab lamanya proses melukis. Beberapa teknik lukis diterapkan dalam satu lukisan. Mulai teknik gradasi, retak, hingga teknik ciprat. Minimal satu bulan untuk satu lukisan batik.
”Biasanya laku antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per lukisan,” ungkapnya sembari mengaku telah beberapa kali ambil bagian di pameran lukisan di berbagai lokasi, salah satunya hingga ke Surabaya.
Masih dengan kuasnya, Guntur mulai mencoba batik lukis kontemporer. Hampir sama dengan lukisan batiknya, bedanya kali ini adalah media dan tujuan ulah kreatifnya. (*/irw/diq)