Jawa Pos

Tiba-Tiba Harus Balik Kucing

Di perkampung­an Surabaya, acara hajatan dengan menutup jalan sudah jadi hal lumrah. Kendaraan yang hendak melintas pun harus balik kucing. Namun, rasa dongkol karena jalan ditutup itu sering kali tidak tersuaraka­n.

-

LEBAR Jalan Sawah Pulo tidak lebih dari 4 meter. Untuk bersimpang­an dua mobil pun susah. Kalau sopir ahli, dua mobil bisa lewat berlawanan arah. Tapi, sopir yang kurang tatag akan memilih mengalah. Tunggu salah satu mobil lewat dulu

Kondisi jalan yang sempit diperparah oleh pemasangan box culvert pada jalan di kawasan Kecamatan Semampir itu. Hanya cukup untuk satu mobil lewat. Sekadar bersimpang­an dengan motor saja susah.

Ada lagi yang memperpara­h. Yakni, kendaraan milik warga yang parkir di tepi jalan. Ujungujung­nya macet.

Semakin masuk, lebar jalan semakin menyempit. Hampir tidak ada jarak antara rumah dan jalan. Beberapa pintu rumah juga langsung berbatasan dengan jalan. Sementara itu, timur jalan berbatasan langsung dengan sungai. Karena tidak ada pembatas, pengendara bisa tercebur saat memaksa melintas sambil bersimpang­an arah.

Jalan Sawah Pulo memang biasa digunakan sebagai jalan tembusan menuju Jalan Wonosari Lor. Bukan hanya kendaraan roda dua. Roda empat dan truk boks juga kerap melintas. Tidak heran jika jalan tersebut tidak berbeda jauh dengan jalan umum saat lalu lintas sedang padat.

Apes bagi pengendara roda dua dan empat yang melintas pada Sabtu (18/11). Jalan itu buntu. Tepatnya 300 meter dari mulut jalan.

Sebuah terop berbalut kain warna pink dan putih menutup seluruh jalan. Siang itu sedang ada hajatan pernikahan. Yang punya acara memasang terop untuk menjamu tamu yang datang.

Sementara itu, 20 meter dari tempat terima tamu mantenan sudah penuh dengan kendaraan yang parkir. Roda dua dan roda empat memenuhi kiri dan kanan jalan. Beberapa pedagang dadakan juga datang.

Pengendara harus balik kucing. Cari jalur alternatif untuk melanjutka­n perjalanan. Pengendara roda dua mungkin gampang untuk putar arah. Tapi, roda empat beda cerita. Jangankan putar arah. Bersimpang­an dengan motor pun kesulitan. Terpaksa, mobil-mobil pun berjalan mundur.

Tuan rumah ternyata bukan tidak memasang tanda bahwa jalan ditutup. Tanda itu ada. Tapi, tempatnya yang tidak masuk akal. Plang verboden (dilarang masuk) tersebut baru dipasang sekitar 20 meter dari tempat hajatan. Dan, di mulut gang hanya ada janur kuning. Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa jalan ditutup.

Problem lain, tidak ada petugas keamanan yang diperbantu­kan untuk mengatur lalu lintas. Warga sekitar pun tidak berbuat banyak. Hanya sesekali mengingatk­an pengendara yang telanjur masuk ke jalan.

Kisah lain terjadi di Jalan Mleto. Ada warga yang menggelar hajatan. Lagi-lagi, hajatan itu menutup jalan. Tidak ada celah sedikit pun bagi kendaraan untuk bisa lewat.

Pada saat yang sama, ada warga yang meninggal dunia. Iringiring­an jenazah yang hendak menuju makam pun jadi korbannya. Jalan ke kuburan ternyata dibuntu karena ada acara pernikahan. Untuk memutar, butuh waktu dan tenaga ekstra.

’’Waktu itu jenazahnya tidak digeledek seperti sekarang. Tapi, dipanggul,’’ ujar Sukendro, warga setempat yang melihat langsung kejadian tersebut. Karena tidak mungkin membongkar dekorasi manten, warga terpaksa mencari alternatif lain. Mereka meminjam ambulans milik puskesmas.

Tentu saja, itu butuh waktu. Harus menelepon dan menunggu. Warga yang menggotong akhirnya menepikan jenazah.

Warga pendatang juga sering menjadi korban. Warga kos atau kontrak biasanya tidak diberi tahu saat ada hajatan. Akibatnya, mereka telat bekerja atau kuliah karena kendaraan tidak bisa keluar.

Perempuan asal Bojonegoro, Dewi Rulyani Isifana, misalnya. Selama kuliah hingga kini telah bekerja, dia indekos di perkampung­an Kelurahan Jemur Wonosari, Kecamatan Wonocolo. Kawasan tersebut merupakan permukiman padat penduduk. Bisnis kos pun ada di mana-mana. Baik untuk mahasiswa maupun karyawan. ’’Sejak saya kuliah sampai sekarang, jalan seputar Wonocolo ini pasti macet,” katanya.

Apalagi ketika ada hajatan yang menutup sebagian jalan umum. Seluruh kendaraan tidak bisa lewat sama sekali. Sedangkan para pengguna jalan rata-rata bukan asli warga Wonocolo. Praktis, para pengendara bingung untuk mencari jalan. Sebab, tidak ada penunjuk jalan alternatif. ’’Yang punya acara tidak mau tahu. Intinya tidak boleh lewat. Jadi, harus cari jalan alternatif sendiri,” ujar perempuan 28 tahun tersebut.

Hal itu terjadi beberapa kali. Bahkan, dia pernah terkaget-kaget saat gang tertutup oleh panggung acara 17 Agustusan. Ketika dia ingin keluar gang untuk bekerja, panggung sudah menutupi gerbang. Suara sound system nyaring. Secara otomatis, penghuni kos tidak bisa keluar karena sepeda motor terhadang. ’’Kami hanya diminta memaklumi. Kalau mau keluar ya mlipir jalan melewati banyak tamu undangan,” ujar dia.

Sebagai pendatang, Dewi berharap warga bisa lebih bijak ketika menggunaka­n jalan umum. Sebab, jalan umum bukan milik warga semata. Meskipun harus menggunaka­n sebagian jalan umum, harus ada solusi bagi pengguna jalan lain. (Galih Adi Prasetyo/Septinda Ayu Pramitasar­i/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia