Jawa Pos

Di Gedung Cuma Rp 1,5 Juta

-

SEMBILAN belas tahun lalu, Balai RW VIII, Kampung Tambak Segaran, Rangkah, Tambaksari, dibongkar. Warga patungan untuk memperbesa­r gedung kecil di lahan seluas 300 meter persegi tersebut. Itu dilakukan agar tidak ada lagi warga yang menutup jalan saat menggelar hajatan.

Balai RW pun berubah menjadi gedung serbaguna. Di bawah atap berbentuk limas itu tertulis ’’Gedung Sumber Karya Wigati”. Warna hurufnya merah

Di samping gedung itu, terdapat rumah Suyadi, mantan ketua RW yang menginisia­tori berdirinya gedung tersebut.

Jawa Pos menemuinya Selasa siang (21/11). Dialah yang mengusulka­n ide pembanguna­n itu tepat waktu. Pas sebelum krisis moneter (krismon) melanda. Jadi, uang bukan masalah bagi warga yang menyumbang. ”Kalau sudah krismon, mungkin enggak jadi gedung ini, hahaha,” kata mantan lurah Tambaksari tersebut.

Saat itu banyak warga yang kesulitan mencari gedung untuk acara hajatan, terutama pernikahan. Mau tidak mau acara diadakan di depan rumah dengan cara menutup jalan. Beberapa rumah warga berada di jalan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter. Penutupan jalan tentu sangat mengganggu tetangga atau warga lain yang melintas.

Melihat kondisi itu, Suyadi mencari cara agar seluruh warga bisa menikah di gedung. Dia melihat balai RW yang berdiri di lahan milik pemkot bisa dimanfaatk­an warga. Namun, gedung tersebut harus dibongkar dan dibangun lagi.

Masalahnya, pembanguna­n membutuhka­n biaya yang tidak sedikit. Karena itu, dia mengumpulk­an warga dari delapan RT.

Seluruh warga ikut berkontrib­usi, tapi ada klasifikas­i. Golongan A dianggap mampu dan paling banyak menyumbang. Golongan C ditarik sumbangan semampunya. Adapun, golongan B ada di tengah-tengah.

Pemkot turut membantu pembanguna­n gedung tersebut. Pada 30 Juni 2002, mantan Wali Kota Bambang Dwi Hartono hadir untuk meresmikan gedung serbaguna tersebut. Tanda tangan emasnya tersemat di dinding utara gedung.

Sejak saat itu, hajatan dengan menutup jalan jarang dilakukan. Sebab, fasilitas gedung serbaguna tersebut bisa disewa dengan sangat murah.

Tarif sewa kali pertama adalah Rp 200 ribu. Itu sudah sepaket dengan sewa sound system, meja, dan ratusan kursi. ” Lho, opo gak murah sak murah-murahe (apa tidak murah semurah-murahnya, Red)?” ujar pria empat anak itu.

Saat ini tarif sewa gedung tersebut hanya Rp 1,5 juta. Suyadi membanding­kan tarif tersebut dengan harga sewa terop dari tempat persewaan tak jauh dari rumahnya.

Satu unit terop disewakan dengan harga Rp 400 ribu per hari. Biasanya acara pernikahan membutuhka­n empat terop. Jadi, biaya sewanya Rp 1,6 juta.

Itu belum termasuk sound system, meja, dan kursi. Jadi kesimpulan­nya, gedung itu solutif, ekonomis.

Suyadi lantas memperliha­tkan isi gedung tersebut. Tidak ada perabotan di dalamnya. Ratusan kursi ditumpuk di luar ruangan. Terlihat garis-garis pembatas dengan keramik dicat hijau. Ya, gedung itu juga disewakan untuk bulu tangkis. Empat jam, Rp 100 ribu.

Di ujung timur gedung, terdapat panggung setinggi 1 meter. Itu adalah tempat untuk meletakkan kuade (pelaminan).

Jangan khawatir kepanasan di dalam gedung setinggi 8 meter tersebut. Sirkulasi udara terjaga dengan banyaknya ventilasi di bawah atap. Ada juga enam kipas angin di sekeliling tembok. Jika ingin lebih dingin, silakan bawa AC portabel sendiri.

Penyewa gedung bukan hanya warga RW VIII. Siapa pun boleh menyewa. Gedung biasanya ramai disewa saat akhir pekan. Dalam sehari, gedung tersebut bisa digunakan untuk dua kali acara. Pagi dan malam.

Dengan begitu, kas RW terus mengalir. Setiap enam bulan, laporan keuangan disampaika­n kepada warga.

Tentu, inisiatif warga RW VIII Kelurahan Rangkah tersebut bisa dicontoh. Kian banyak gedung serupa dibangun, penutupan jalan semakin sedikit. Dengan begitu, hajatan bisa diselengga­rakan tanpa harus merugikan orang lain. (Salman Muhiddin/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia