Keder Melawan Gangster-Gangster Meksiko
Kejuaraan HWC diadakan sebagai bentuk kampanye melawan stigma-stigma negatif di masyarakat. Khususnya untuk memperbaiki permasalahan sosial terkait dengan ketunawismaan. Misalnya, kaum miskin kota, konsumsi narkoba, HIV/ AIDS, gangster, hingga kurangnya akses terhadap pendidikan.
Di dalamnya, ada kompetisi sepak bola jalanan internasional yang dimainkan empat orang. Kompetisi tersebut dilakukan di lapangan seluas 22 x 16 meter. Lebih kecil daripada lapangan futsal.
Ada 52 negara yang terdaftar menjadi anggota. Karena konsisten melakukan kampanyenya, HWC didukung Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) dan Nike. Klubklub besar dunia seperti Manchester United dan Real Madrid juga pernah menyatakan dukungannya. Bahkan, beberapa pemain sepak bola kelas dunia seperti Eric Cantona, Didier Drogba, dan Rio Ferdinand pernah hadir di perhelatan tersebut.
Sejak kali pertama diselenggarakan di Graz, Austria, pada 2003 HWC diikuti lebih dari 300 ribu orang. Khususnya mereka yang punya permasalahan dengan ketunawismaan dan termarginalkan secara sosial. Mereka berlomba mendapatkan kesempatan sekali seumur hidup untuk mewakili negaranya. Tahun ini, Indonesia kali kelima mengirim wakilnya.
’’Paling mengharukan saat pertandingan pertama,’’ ujar Andri mengenang laga internasional pertamanya melawan wakil Zimbabwe di HWC 2017. ’’Kami berdiri di atas lapangan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di negara orang,’’ lanjut pria asal Krian tersebut.
Memang, menjadi salah seorang wakil di ajang HWC 2017 bagai mimpi bagi anak bungsu di antara dua bersaudara tersebut. Maklum, selama ini hidupnya serba paspasan. Jangankan berpikir meraih prestasi, mencari sesuap nasi saja sulit. Dia harus berjuang dari pinggiran. Sejak lulus SMA pada 2010, setahun kemudian dia memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Mengadu nasib.
Perjuangannya tak mulus. Dia sulit mencari pekerjaan tetap. Hanya setiap ada permintaan dia bekerja. Segala jenis pekerjaan kasar dilahapnya. ’’ Jadi kuli bangunan, pemanggul beras, hingga kernet bemo juga pernah,’’ ucapnya bersemangat.
Karena pendapatannya tak menentu, Andri harus memutar otak. Dia harus mencari pekerjaan lain. Pilihan itu jatuh ke dunia olah bola. Memang, Andri tak asing lagi dengan permainan bola kaki. Sejak kecil, Andri sudah hobi dan beberapa kali ikut kejuaraan lokal. Namun, cedera pada 2009 membuatnya sempat putus asa. Kaki kanannya patah. Pas di tulang kering. Waktu pemulihannya cukup lama. Hampir setahun. Karena itulah, Andri merasa trauma sekaligus enggan bermain sepak bola lagi.
Tetapi, kondisi ekonomi yang serbakurang memaksanya berlatih bola lagi. Ternyata bakat alam yang dimiliki Andri belum luntur. Karena keahliannya, dia menjadi langganan untuk bermain di kejuaraan sepak bola antarkampung (tarkam). Penyuka nasi goreng tersebut pernah ikut seleksi Kompetisi Internal Persebaya, tetapi tak lolos. Namanya memang cukup dikenal di kalangan pencinta sepak bola tarkam.
Tak hanya bermain di lokal Surabaya, Andri juga kerap diundang untuk bermain di luar kota. Terakhir, dia bermain di kejuaraan tarkam di Pamekasan. Sekarang Andri sedang bermain di sebuah kejuaraan futsal antarklub di Jakarta.
Kemampuan Andri ternyata tercium oleh tetangga kosnya di daerah Dukuh Kupang, Doni Arisetiawan. Doni yang juga relawan di BNNK Surabaya kemudian mengajaknya ikut seleksi nasional League of Change pada 1 Mei 2017 di Lapangan Hoki, Surabaya. Pengagum Lionel Messi itu harus bersaing dengan 55 pemain lain dari enam provinsi. Selain Jatim yang mendaftarkan dua tim, ada Bali, Nusa Tenggara Barat, Jogjakarta, Jateng, dan Jabar yang mengirim masingmasing satu tim.
Pesertanya berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang mantan pecandu narkoba, mantan pelaku kriminal, kaum miskin kota, korban bencana lumpur Lapindo, hingga penyandang cacat/difabel. Saat seleksi tersebut, Andri terpilih sebagai pemain terbaik turnamen. Dia berhak mengamankan satu tiket mewakili Indonesia.
Namun, tim pelatih yang dikepalai Sabrun Hanafi sempat ragu dengan kondisi fisik Andri. Lulusan SMA Al-Islam Krian itu masih ingat betul bahwa saat itu penampilannya memang tak ideal untuk ukuran pemain bola. Tubuhnya tampak gendut. Berat badannya berlebihan. ’’Dulu ini pipi dan perut udah gembul,’’ tuturnya sambil memegang pipi dan perutnya.
Sabrun yang juga pelatih Persib Bandung U-15 sempat meminta Andri menurunkan berat badan. Jika tidak, namanya akan dicoret. Program diet ketat pun dimulai. Ada waktu 40 hari untuk menurunkan berat badan. Usahanya sedikit terbantu karena waktu itu berbarengan dengan Ramadan. Sambil berpuasa, dia berlatih pagi dan sore. Usahanya tak sia-sia. Berat badannya turun cukup signifikan. Dari awalnya 72 kilogram menjadi 65 kilogram. ’’Berat badan harus turun. Kapan lagi bisa mewakili Indonesia di ajang Internasional?’’ pikirnya kala itu.
Bersama tujuh orang lainnya, dia akhirnya ikut dalam pemusatan latihan di Rumah Cemara, Bandung. Di sana dia bertemu dengan orang dari berbagai macam latar belakang. Namun, kesamaan nasib sebagai kaum termarginalkan membuatnya lebih termotivasi dan mudah bergaul. Buah hati Anam dan Siti Lutfia itu tergugah hatinya. Terutama setelah melihat orang-orang senasib yang punya semangat sama. Mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Setelah melewati serangkaian program latihan, mereka lantas berangkat ke Oslo. Tiba di sana, mereka disambut dengan upacara kecil oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia. Sejak menang atas Zimbabwe di partai pembuka, mereka menuai kemenangan demi kemenangan sebelum terhenti oleh perwakilan Meksiko di babak 8 besar. ’’Orang Meksiko itu lulusan gangster semua. Kami keder duluan,’’ seloroh Andri, lalu tertawa lepas.
Memang, setiap negara punya ciri- ciri tersendiri. Selain Indonesia dan Meksiko, Brasil punya ciri mengirim wakil perempuan eks narapidana. Meski begitu, Indonesia bisa merebut peringkat kelima HWC 2017 lewat kemenangan tipis melawan Bosnia-Herzegovina dengan skor akhir 4-3.
Perjuangan mereka tak mudah. Sebab, mereka harus bertarung di atas lapangan rumput sintetis yang basah karena hujan. Gol penentu kemenangan baru tercipta pada 95 detik menjelang peluit panjang ditiup wasit. Gol yang membuat Indonesia unggul hingga berakhirnya pertandingan itu pun mendapat sambutan meriah dari suporter tim Indonesia yang kebanyakan merupakan WNI di Oslo.
Hasil tersebut lebih baik daripada tahun lalu. Pada HWC 2016 di Skotlandia, tim Indonesia finis di urutan ketujuh. Peringkat terbaik timnas Indonesia yang dimotori Rumah Cemara diraih dalam pergelaran HWC di Meksiko pada 2012. Saat itu Indonesia menduduki peringkat keempat dunia.
Pengalaman tak terlupakan itu secara tak langsung mengangkat moral Andri. Selama ini dia merasa hanya sebagai sampah. Tetapi, di sisi lain, serendahrendah dirinya masih bisa membawa Garuda di dadanya ke kancah internasional.
Meski begitu, dia merasa juara bukanlah segalanya. Trofi terbesarnya adalah saat dia berhasil mengalahkan ego dan menghargai diri sendiri. Yang paling penting, perjuangan sesungguhnya adalah kembali ke kehidupan sosial. Menghapus stigma-stigma yang selama ini sudah melekat di masyarakat untuk kaum marginal seperti dirinya.
Setelah ini, dia berharap pemerintah bisa lebih peduli kepada kalangan minoritas. Sebab, di beberapa negara, khususnya Amerika Latin, olahraga ini sudah diakui. Bahkan, ada liga nasional yang menaunginya.
’’Kegiatan ini kan sekaligus kampanye untuk pengalihan para pecandu narkoba ke olahraga. Jadi, manfaatnya sangat besar,’’ tuturnya.
Dia pun ingin memulai perjuangan selanjutnya sebagai pesepak bola profesional. Di samping itu, Andri ingin melatih tim sepak bola yang berisi jebolan pasien rehabilitasi BNNK Surabaya. Selamat berjuang. (*/c14/dos)