Pelaku dan Korban Diperlakukan Sama
Mengunjungi Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur
Mayoritas anak pelaku tindak kriminal berlatar belakang orang tua yang bercerai. Mereka tidak memiliki figur yang bisa menjadi panutan. Di sini negara sudah sepatutnya hadir.
FERLYNDA PUTRIILHAM WANCOKO, Jakarta
MEREKA berpakaian seragam layaknya siswa SMP. Duduk di kursi dan menyimak penjelasan pendamping. Hari itu sekitar 30 anak perempuan dan laki-laki usia belasan tahun mengikuti materi mengenai agama.
Kegiatan tersebut merupakan rutinitas selama mereka berada di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur. Kemarin (22/1) Jawa Pos berkunjung ke fasilitas milik Kementerian Sosial itu.
Anak-anak yang tinggal di tempat tersebut merupakan korban dan pelaku. Mulai korban pelecehan seksual, trafficking, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dan bahkan keluarga teroris. Sementara itu, untuk pelaku tindak kejahatan, perbuatan yang dilakukan juga berbagai macam. Misalnya, mencuri, tawuran, dan kekerasan seksual.
Semua diperlakukan sama
Sebab, korban maupun pelaku adalah anak-anak. Saat ini di RPSA ada sekitar 40 anak dengan usia rata-rata 12–15 tahun. Mereka dibina oleh sembilan pembimbing.
Berfungsi sebagai rumah rehabilitasi tak lantas membuat RPSA Bambu Apus terlihat ”menyeramkan”. Justru suasananya tampak adem. Seperti perumahan pada umumnya. Berada di tanah seluas 6 hektare, RPSA Bambu Apus terdiri atas berbagai gedung. Sebagian besar gedung berfungsi sebagai penginapan atau wisma. Sisanya difungsikan untuk kegiatan harian dan kantor. Untuk keamanan, ada beberapa pos satpam. ”Ada rumah aman dan selter. Rumah aman tidak bisa dikunjungi sembarang orang. Rahasia,” ujar Kepala RPSA Neneng Heryani saat ditemui di kantornya.
Neneng menjelaskan, RPSA Bambu Apus digunakan untuk merehabilitasi anak-anak yang memiliki trauma. Dengan begitu, setelah keluar dari tempat tersebut, diharapkan trauma si anak sudah hilang. ”Saat keluar harus sudah siap kembali ke masyarakat. Traumanya tidak terbawa hingga dewasa,” bebernya.
Dia mencontohkan seorang anak binaannya yang dianggap sudah berubah. Yang dimaksud Neneng adalah JF, pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan dengan korban Yuyun dari Bengkulu. ”Sekarang anaknya sudah bersih. Rajin,” ungkapnya. Neneng ingat betul saat JF datang ke RPSA Bambu Apus. Mata anak laki-laki itu merah. Dia tampak lelah karena tiga bulan menjadi buron. Bahkan, pihak berwajib yang mengantarnya ke Jakarta pun berpesan bahwa JF harus mendapatkan perhatian lebih.
”Dulu salat pun tidak bisa. Sekarang sudah bisa baca tulisan Arab, bahkan sekarang sedang training dan mendapatkan gaji,” tuturnya. Selama berada di RPSA, JF rutin mengikuti kegiatan. Ternyata, JF sadar bahwa dirinya harus berubah. ”Sekarang tidak mau pulang dulu. Mau cari uang, mau ditabung, mau jadi orang katanya,” tambah Neneng.
Menurut Neneng, banyak masalah yang melatarbelakangi anak menjadi pelaku tindak kriminal. JF misalnya. Dia ternyata memiliki ayah yang juga dipenjara karena melakukan kekerasan seksual kepada saudara perempuan JF. ”Mereka 90 persen berasal dari keluarga yang bercerai. Sebenarnya anak-anak ini hanya tidak memiliki figur yang menjadi panutan,” ungkapnya.
Anak yang menjadi korban tindak kriminal bisa jadi juga disebabkan kelalaian orang tua. Orang tua dianggap tidak mampu hadir untuk menyediakan lingkungan yang aman bagi anak. Aman yang dimaksud Neneng tidak lantas membatasi aktivitas sosial si buah hati. Tetapi, orang tua dianggap tidak mengenali dengan baik lingkungan si anak.
Anak yang menjadi korban maupun pelaku dari tindak kriminal ada bermacam-macam. Di RPSA Bambu Apus sendiri biasanya diawali dengan pemeriksaan medis. ”Misalnya, ditemukan penyakit, kita obati dulu.”
Setelah itu, rehabilitasi dilakukan. Misalnya, dengan konseling untuk trauma psikologisnya dan pembekalan keagamaan. Kemudian, diberikan aktivitas untuk mengisi waktu luang. Bisa dengan olahraga, kesenian, atau kemampuan keterampilan. ”Kalau dokumen untuk pendidikan formalnya masih, maka bisa dilanjutkan sekolah di sini,” tuturnya.
Selama itu pula, keluarga dan lingkungan anak juga akan disurvei. Jika ada masalah, RPSA Bambu Apus akan merehabilitasi lingkungannya. ”Untuk orang tua biasanya diberi parenting skill. Hal itu penting untuk mengetahui bagaimana mengasuh anak,” jelasnya.
Dalam lingkup yang lebih besar, negara harus bertanggung jawab melindungi anak. Misalnya dalam perlindungan terhadap pelecehan seksual. Kanit IV Subdit I Dittipid Siber Bareskrim AKBP Rita Wulandari menuturkan, pelecehan seksual terhadap anak sangat potensial sekali terjadi karena adiksi atau kecanduan pornografi yang dialami pelaku. Kemajuan teknologi berupa dunia maya menjadi salah satu penyebab. ”Pornografi sebenarnya mengakibatkan kecanduan dan itu penyakit,” jelasnya.
Maka, selain dilakukan hukuman untuk pelaku, juga harus disembuhkan kecanduannya terhadap pornografi. Kalau hanya dihukum, tentu ibarat menambal kapal bocor. ”Begitu juga kalau langkahnya hanya memblokir situs porno. Situs porno yang diblokir akan selalu bereinkarnasi dengan alamat baru,” ujarnya.
Yang paling mengkhawatirkan, anak yang selama ini paling berpotensi menjadi korban juga bisa kecanduan pornografi. Karena itu, penyembuhan adiksi pornografi bagi anak yang menjadi korban pelecehan seksual atau bukan korban begitu penting. ”Semua itu berkat makin canggihnya teknologi, seperti dunia maya. Kemajuan teknologi ini tentu ada baik dan buruknya,” urainya.
Lalu, bagaimana menyembuhkan anak yang kecanduan pornografi? Dia menjelaskan, sebenarnya ada semacam treatment untuk bisa menyembuhkan kecanduan pornografi. Awalnya dilakukan penilaian terhadap tingkat kecanduan anak. ”Dibagi menjadi beberapa grade, dari ringan sedang hingga akut,” jelasnya.
Dengan penilaian itu, dilakukan langkahlangkah penyembuhan yang cocok. Dia mengatakan, rencananya pada 30 Januari ada rapat semua kementerian dalam rangka Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3). ”Saat itu akan dibahas semua langkah pencegahan dan penanganannya,” tuturnya.