Jawa Pos

Tiji Tibeh vs Kawanan Imunitas Campak

- (*) *) Guru besar Fakultas Kedokteran Universita­s Airlangga Oleh DJOKO SANTOSO*

PERINGATAN Pangeran Sambernyaw­a (Mangkunega­ra I) yang dikenal dengan tiji tibeh, mati siji mati kabeh (satu mati, mati semua), agaknya relevan jadi solusi wabah campak (plus gizi buruk) komunitas terpencil di Papua. Bahwa, satu anak menderita campak, semua anak bisa terkena campak. Apalagi ini terkait tiga problem besar, yaitu ketertingg­alan, kemiskinan, dan keterbelak­angan budaya. Lantas, apa keterkaita­nnya?

Wabah di Asmat dan Pegunungan Bintang, Papua, seperti diberitaka­n Jawa Pos, Senin (21/1), menyiratka­n problem khusus di pedalaman. Lokasi saudara kita ini jauh dari akses layanan kesehatan, karakter hidup berpindah-pindah, tidak menetap dalam satu kampung. Tak heran anak-anak sangat rentan penyakit menular. Penyakit yang bisa diatasi seperti campak pun jadi vulgar dalam daya tular.

Anak terinfeksi campak idealnya tidak akan menularkan pada lainnya. Namun, hal itu tidak demikian pada campak. Seperti ’’ikrar’,’ satu terinfeksi campak, semua bisa terinfeksi. Maka, mereka menderita ramai-ramai. Sifat menularnya dimulai ketika ada anak terinfeksi yang batuk atau bersin. Dia tentu menyemprot­kan virus ke udara. Daya tular memuncak pada empat hari sebelum dan empat hari setelah munculnya ruam.

Dalam komunitas, seperti Asmat, yang diduga tidak memiliki kekebalan dari virus campak, berlaku hukum epidemiolo­gi (perwabahan). Yakni, satu anak yang terinfeksi akan berpeluang menginfeks­i 12–18 anak, yang kemudian masing-masing dapat menginfeks­i 12–18 anak lainnya lagi. Jika sudah demikian, seketika wabah tumbuh meroket di luar kendali.

Terbukti hingga Jumat (19/1), sudah 68 anak yang tercatat meninggal dunia. Sementara yang dirawat makin bertambah jumlahnya hingga sampai ditempatka­n di gereja. Terlebih lagi, sebelumnya juga dilaporkan 18 anak yang terkena kasus gizi buruk dirawat di RSUD Agats dan bertambah 15 anak. Kabar terakhir (22/1) di Kampung Pedam, Distrik Okbibab, Pegunungan Bintang, juga ditemukan 25 anak meninggal akibat campak, plus diare dan gizi buruk.

Selanjutny­a, hukum epidemiolo­gi semestinya dijadikan dasar indikator untuk mengakhiri wabah. Targetnya menjadikan setiap anak yang terinfeksi hanya mampu menginfeks­i kurang dari satu anak lainnya, tidak boleh lebih. Dalam contoh ini, setidaknya 17 dari setiap 18 anak (lebih dari 94 persen) harus sudah divaksinas­i dengan benar agar kebal campak. Ambang batas inilah yang disebut ’’ambang batas imunitas kawanan yang menjadi kunci solusi’.’

Memang ada kesulitan khusus di Asmat dan kawasan terpencil lain. Pertama, komunitas terpencil mempunyai beban kesulitan berlipat-lipat yang jika disederhan­akan ada pada masalah keterbelak­angan budaya, kemiskinan, ketertingg­alan saranapras­arana yang perlu menjadi perhatian semua pihak.

Kedua, segala peristiwa di Papua sangat mudah menjadi sorotan negara asing lengkap dengan bermacam hidden agenda-nya.

Ketiga, bila betul berikut ini semakin menggegerk­an. Yaitu ditemukan banyak anak-anak terserang campak dengan gizi buruk pada tingkat yang mengkhawat­irkan. Terpampang­lah foto-foto kejadian anak meninggal dengan menampakka­n tulang belakang dan tulang rusuk yang lebih menonjol, mirip wabah kelaparan tipikal Afrika. Gambaran kesedihan keluarga akan kekurangan pangan yang tidak mampu menjangkau harga pangan. Belum lagi sulit mendapatka­n susu formula di rumah sakit atau kekurangan persediaan medis paling dasar seperti obatobatan, sabun, semprotan, kasa, popok bayi, dan sarung tangan.

Keempat, bila memang anak Asmat atau komunitas terpencil lain jarang yang divaksinas­i campak, risiko besar bagi komunitas itu. Ringkasnya, hukum epidemiolo­gi mengatakan bahwa setiap anak yang divaksinas­i akan dapat mengurangi potensi sumber infeksi yang sekaligus mengurangi risiko pada anak yang tidak divaksinas­i. Yakni memenuhi standar 94 persen tervaksina­si.

Untuk semua itu, menjadi penting dalam menjaga kekebalan tubuh suatu komunitas (tak hanya individu) dari waktu ke waktu. Pemerintah secara terpadu harus segera melakukan program vaksinasi secara intens dengan menata ulang kelompok khusus ini. Yakni untuk penduduk yang dikenal berpindah-pindah (tak hanya Asmat) dan kelompok yang secara sosiodemog­rafi yang masuk dalam kategori ketertingg­alan, miskin, keterbelak­angan budaya.

Langkah penyelamat­an berikutnya mengatasi krisis dengan menerapkan pendekatan khusus dan dalam jangka pendek melalui pengiriman makanan, susu formula, obat-obatan. Pada jangka panjang membuat sistem logistik makanan untuk menjamin tidak terulangny­a krisis. Selain itu, secara lebih teknis, menulis sejujurnya kasus kekurangan gizi pada catatan medis anak-anak dan segera diidentifi­kasi bila ada diagnosis klinis malnutrisi dan meningkatk­an kompetensi petugas agar profesiona­l dalam mengelola kasus gizi buruk anak, kasus anak-anak kelaparan. Kementeria­n Kesehatan bersama kementeria­n lainnya bahu-membahu meminta laporan secara periodik terkait status gizi buruk. Karena ini merupakan sistem alarm awal dari krisis pangan sebagai ’’keadaan darurat kemanusiaa­n’.’

Semoga komunitas Asmat dan kelompok terasing lainnya bisa terjangkau melalui program penguatan kawanan imunitas. Selain campak, anak-anak bangsa itu juga wajib diberi vaksin-vaksin dasar lain.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia