Stop Diskriminasi Difabel dalam Pemilu
PENGULANGAN kekhilafan ini mestinya tak perlu terjadi. Tapi, respons Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi surat keputusan yang dinilai mendiskriminasi penyandang disabilitas (difabel) cukup melegakan. Setidaknya ini jadi pelajaran agar lebih sensitif. Bahwa kaum difabel punya hak yang sama di bidang politik di negara ini. Baik memilih, menjadi penyelenggara pemilu, maupun dipilih (menjadi pemimpin).
Heran juga, kita sudah menyelenggarakan pemilu demokratis sejak 1999, tapi isu diskriminasi difabel terus terjadi. Komisioner KPU kali ini mengaku tak sengaja mendiskriminasi penyandang disabilitas dalam SK KPU Nomor 231/ PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017. Memang masih ada perlakuan beda yang merugikan difabel dalam SK tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani, Rohani, serta Standar Pemeriksaan Kesehatan Jasmani, Rohani, dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pilkada itu.
Tak heran, komunitas penyandang disabilitas mengungkit lagi trauma Pemilu 2004. Yakni SK KPU 26/2004 yang menjegal KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pasal 4 SK itu menyebut seorang capres dan cawapres harus ”mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden”. Gus Dur tak lolos rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas sebenarnya sudah jauh lebih kuat dalam mewujudkan kesetaraan hak kaum difabel. Hak itu sangat strategis karena menyangkut pengambilan keputusan di level pemerintahan. Kaum difabel harus dijamin haknya untuk menduduki posisi dalam lembaga eksekutif, legislatif, serta yudikatif.
Meskipun KPU menyebut dalam pilkada kali ini belum ada bakal calon kepala daerah dari kaum penyandang disabilitas, setidaknya mereka tetap dibukakan pintu. Selebar kelompok masyarakat lain. Dewan Pengurus Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas menggarisbawahi penentuan standar mampu jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Yakni harus memperhatikan kemampuan dalam melakukan observasi, menganalisis, serta membuat keputusan dan mengomunikasikannya. Juga memperhatikan integritas, akuntabilitas, dan kepemimpinan.
Memukul rata penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan jasmani dan rohani untuk menjadi kepala daerah jelas bukan logika yang bisa diterima di zaman yang makin terbuka ini. Apalagi dikaitkan dengan istilah disabilitas medis, yakni kondisi yang dianggap sebagai penghambat. Disabilitas medis itulah yang membawa trauma Pemilu 2004.