Terus Belajar hingga Jelang Akhir Hayat
Mengenang Profesor Spesialis Stroke Paulus Gunawan Budiarto SpS (K)
Dokter spesialis saraf Prof Paulus Gunawan Budiarto meninggal pada Sabtu (20/1) karena kanker otak. Selain dedikasinya yang tinggi di bidang kedokteran, banyak teladan dan kenangan manis yang dirasakan keluarga dan kolega terhadap mendiang.
PUJI TYASARI
RACHMAT Budiarto terlihat tegar. Putra pertama Prof Paulus Gunawan Budiarto SpS(K) itu menyalami tamu-tamu yang melayat ayahnya di rumah duka Adi Jasa, Jl Demak, Bubutan, kemarin (22/1). Suami Santi Konanjaya itu kehilangan sosok yang akan sangat dikenangnya.
Ketika awal ayahnya menjadi dokter, Rachmat masih bocah. Jam kerja yang padat membuat Prof Gunawan hanya memiliki waktu singkat bersama keluarga. Pukul 06.00 dia sudah berangkat ke rumah sakit. Pulang pukul 14.00, dilanjutkan buka praktik. ”Tapi, biasanya papa selalu mengusahakan makan malam bersama,” katanya
J
Rachmat mengakui, ayahnya sangat berdedikasi. Terutama dalam memenuhi kewajiban sebagai dokter. Jam berapa pun dia berangkat kalau ada panggilan dari rumah sakit. Meski, itu malam sekalipun. ”Saya yang bagian bukain pintu garasi,” ceritanya.
Ketika Rachmat masih berkuliah di Amerika dan diikuti adik-adiknya, ayah dan ibunya, Jeanne Anggraini Budiarto, biasa menyempatkan waktu untuk menengok mereka. Saat itulah momen kebersamaan keluarga tercipta.
Di usianya yang ke-84 tahun, Rachmat mengakui aktivitas ayahnya memang berkurang. Meski begitu, tetap ada hal-hal yang ingin dilakukannya. Misalnya, mengajar di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kuncoro Foe mengatakan, kepergian profesor yang dikenal dengan spesialisasinya dalam menangani stroke itu berarti kehilangan besar bagi mereka. Menurut dia, Prof Gunawan merupakan salah seorang yang menginisiatori pendirian fakultas kedokteran di kampus mereka.
Prof Gunawan juga dikenal sabar dan dermawan. Mau memberikan beasiswa kepada anak didik dari uangnya sendiri. ”Bisa berbuat baik untuk orang lain. Apa yang sudah dimulai akan kita teruskan,” ujar Kuncoro Foe.
Grace Budiarto, putri ketiga Prof Gunawan, mengungkapkan, riwayat sakit sang ayah terbilang mendadak. Pada Oktober lalu, Prof Gunawan menjalani pemasangan stem pembuluh darah di Singapura. Dokter memintanya kembali kontrol enam minggu berikutnya.
Sehari menjelang kontrol, Grace iseng merekam video sang ayah yang berjalan. Grace merekamnya dari belakang. Dia lalu mengirimkannya kepada dokter di Singapura. Dokter curiga. ’’Rekaman dari belakang, papa kok jalannya miring ke kiri,’’ katanya.
Dokter menduga, ada sesuatu di kepala bagian kanan Prof Gunawan. Sekitar akhir November, MRI (magnetic resonance imaging) dilakukan. Hasilnya menunjukkan, ada bulatan di kepala. Dugaan awal, bulatan itu merupakan abses berisi cairan. ’’Rencana dibiopsi. Tapi, karena tidak ada planning
sebelumnya, kami kembali ke Surabaya,’’ ungkapnya.
Prof Gunawan kemudian ditangani tim dokter saraf di Surabaya. Belum ada tindakan besar yang bisa dilakukan. Bulatan itu membesar meski sudah diberi obat. Tim dokter menyarankan kembali berobat ke Singapura. ’’Pada 7 Desember MRI ulang di Singapura untuk make sure
kondisinya,’’ jelasnya.
Ternyata, bukan sekadar cairan, melainkan ada bagian padatnya. Pembedahan pun dilakukan dengan
awake surgery. Salah satu tujuan
awake surgery adalah memastikan bahwa operasi tidak membuat jaringan lainnya lumpuh.
Grace mengatakan, hasil operasi bagus. Ayahnya bisa makan dan minum normal. Sang ayah juga tidak ingin ketinggalan berita tentang Surabaya. Karena itu, koran Jawa Pos yang terbit selama Prof Gunawan dirawat di Singapura dikumpulkan keluarga dan dibawa ketika ada yang menjenguk. Namun, empat hari kemudian, terjadi pendarahan besar di bagian yang dioperasi. ’’Up and down sadarnya. Tidak berani operasi lagi,’’ katanya.
Dari hasil pemeriksaan, bagian padat itu ternyata glioma high grade yang merupakan kanker otak ganas. ’’Sel-sel kankernya menyebar dengan sangat cepat,’’ imbuhnya.
Prof Gunawan adalah pendidik sejati. Setelah pensiun mengajar di FK Unair, dia tidak berhenti. Prof Gunawan membagi ilmunya di Universitas Katolik Widya Mandala. Hal lain yang layak diteladani darinya adalah kemauan belajar. Menurut Grace, ayahnya setuju dengan prosedur awake surgery bukan hanya alasan kesehatan. ’’Tapi, papa juga mau belajar hal-hal baru dari prosedur yang dilakukan itu. Papa pantang menyerah, terus belajar dengan caranya sendiri, bahkan bersedia menggunakan tubuhnya untuk studi,’’ ujar Grace.
Upacara tutup peti dilakukan hari ini. Lusa, mendiang disemayamkan di Unair, dilanjutkan di UKWMS untuk kemudian dikremasi siangnya. Prof Gunawan meninggalkan 1 istri, 4 anak, 17 cucu, cucu menantu, serta cicit.