Nama SBY Muncul di Sidang Setnov
Demokrat Tegaskan Tak Ada Intervensi
JAKARTA – Skandal megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) memanas. Muncul nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sidang terdakwa Setya Novanto (Setnov) di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin (25/1). Presiden RI dua periode itu disebut menginstruksikan agar proyek e-KTP jalan terus meski ada indikasi masalah
J
Nama SBY muncul dalam tanya jawab antara saksi Mirwan Amir dan penasihat hukum (PH) Setnov, Firman Wijaya. Dalam pertanyaannya, Firman memperjelas perihal hubungan pemenang Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, dengan proyek e-KTP yang dibahas di DPR pada 2010.
Mirwan yang kala itu menjabat wakil ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi Partai Demokrat menyatakan bahwa e-KTP merupakan program pemerintah. Nah, saat diminta mempertegas siapa pemerintah yang dimaksud, Mirwan lantas menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ”Memang, itu adalah program pemerintah,” ungkap Mirwan.
Berikutnya, Mirwan yang disebut pernah berkomunikasi dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam dakwaan Setnov menyatakan sempat menyampaikan kepada SBY bahwa proyek e-KTP sebenarnya bermasalah. Hal tersebut dia sampaikan saat acara di kediaman SBY di Cikeas.
Namun, SBY kala itu justru meminta proyek dilanjutkan. ”Tanggapan dari Bapak SBY bahwa ini (e-KTP) untuk menuju pilkada. Jadi, proyek ini harus diteruskan,” ungkap Mirwan menirukan instruksi SBY setelah menerima laporan masalah e-KTP tersebut.
”Saya tidak tahu masalah teknis e-KTP. Tapi, menurut Pak Yusnan (pengusaha yang tidak jadi ikut proyek e-KTP), program e-KTP ini ada masalah,” bebernya.
Ditanya alasan SBY memberikan instruksi tersebut, Mirwan menyatakan tidak tahu. Dia mengaku tidak punya kekuatan untuk bertindak lebih jauh. Baik menanyakan alasan instruksi presiden dua periode tersebut maupun menyetop anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. ”Saya hanya sebatas itu. Habis itu, saya tidak punya (kekuatan, Red),” ujarnya.
Tentu saja, kesaksian Mirwan tersebut menjadi senjata baru bagi kubu Setnov. Sebab, keterangan yang baru mencuat dalam sidang itu bisa digunakan sebagai fakta yang melemahkan peran Setnov sebagai aktor utama korupsi e-KTP. Hal itu pun sejalan dengan langkah Setnov mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) yang salah satu syaratnya adalah bukan aktor utama korupsi.
Pernyataan Mirwan itu kian terasa segar bagi kubu Setnov. Sebab, Mirwan merupakan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Menurut Firman Wijaya, pihaknya hanya mempertegas apa yang ditanyakan jaksa kepada Mirwan dalam sidang.
”Jaksa penuntut umum memulai dengan pertanyaan apakah proyek e-KTP ini ada kaitannya dengan pemenang Pemilu 2009. Karena itu, saya sebagai penasihat hukum mempertegas,” ujarnya seusai sidang.
Firman menyebutkan, keterangan Mirwan mengungkap adanya intervensi pengaruh dari kekuatan besar kala itu. Dengan demikian, lanjut dia, dakwaan jaksa yang menilai kliennya memiliki peran penting dalam anggaran e-KTP adalah keliru. ”Dipertegas saja, (KPK) jangan ada tabir. Siapa yang disebut penguasa yang mengintervensi itu (e-KTP).”
Fakta baru tentang SBY itu kian memantapkan manuver Setnov. Sebelumnya, dalam sidang Senin (22/1), Setnov menyatakan akan membeberkan nama anggota DPR yang menerima aliran dana e-KTP. Dia mengaku sudah menulis catatan itu dan akan memberikannya kepada JPU KPK.
Namun, anehnya, meski bakal membeberkan nama anggota DPR, Setnov tetap belum mau mengakui penerimaan uang USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, pihaknya sampai saat ini belum mendapat informasi apa pun dari Setnov soal daftar nama politikus yang akan dibeberkan dalam sidang. Artinya, rencana Setnov membuka daftar nama yang tertuang dalam buku catatan pribadinya itu masih dipertanyakan. ”Belum ada informasi yang baru dan kuat,” katanya.
Febri menuturkan, sejauh ini Setnov masih berkelit soal dugaan penerimaan fee e-KTP USD 7,3 juta yang didistribusikan melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan rekannya, Made Oka Masagung.
Karena itu, rencana mantan ketua DPR tersebut membeberkan nama-nama penerima fee e-KTP sangat kontradiktif. ”Kita tahu, SN masih berkelit di pengadilan terkait sejumlah perbuatan dan penerimaan (fee e-KTP),” ungkap mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
”Dan harus diingat, syarat JC itu harus memenuhi kriteria. Mulai mengakui perbuatan dan membuka peran pihak lain selain pelaku utama,” imbuh Febri.
Di tempat terpisah, Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengungkapkan, pernyataan Mirwan tidak menunjukkan bahwa Presiden Keenam RI SBY dan Partai Demokrat terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP. Kalaupun ada kader yang terlibat, hal itu merupakan perbuatan oknum dan bukan partai secara lembaga. ”SBY bersih dari seluruh kasus korupsi e-KTP,” tegasnya.
Saat itu, terang dia, SBY tidak mungkin menghentikan proyek yang sudah berjalan. Kebijakan itu sudah disetujui pemerintah dan DPR. Apalagi, lanjut dia, program e-KTP merupakan upaya penataan identitas kependudukan warga negara Indonesia.
Penataan tersebut juga bertujuan memperkuat faktualisasi data pemilih dalam pilkada dan pemilu. ”Jadi, akan menjadi masalah besar bila proyek tersebut dihentikan begitu saja,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Selain itu, lanjut dia, saat Mirwan menyampaikan informasi soal proyek e-KTP, belum ada masalah korupsi yang mengganggu proyek data kependudukan tersebut sehingga tidak mungkin bisa dihentikan tanpa alasan yang jelas. Penghentian akan berakibat hukum atas kontrak yang sudah ditandatangani. Pemerintah bisa dituntut balik oleh kontraktor.