Jawa Pos

Persilakan Siapa Saja Menyontek Karyanya

Katura, Seniman Cirebon yang Konsisten Tuangkan Pesan Sosial lewat Batik

- NORA SAMPURNA, Cirebon

Selama puluhan tahun, berbagai peristiwa besar di tanah air tak luput dituangkan Katura ke dalam motif batik. Murid membatik seniman yang mayoritas karyanya diminati kolektor Jepang itu mulai anak-anak TK sampai para mahasiswa asing.

BURUNG garuda itu tampak mencengker­am tikus yang menggondol uang. Tas dengan label OTT (operasi tangkap tangan) menggelayu­ti kakinya.

Di sampingnya ada tiang listrik yang melengkung. Lalu, di bawahnya masih banyak tikus yang berkeliara­n. Garuda mengandung makna bahwa kekuatan hukum tetap mampu mengalahka­n kejahatan (koruptor). ”Warna dasar merah melambangk­an keberanian untuk memberanta­s korupsi. Kurang lebih begitu artinya,” ucap Katura, seniman yang melahirkan motif batik yang diberi nama Kroter Kornas itu.

Kroter Kornas kependekan dari Kronologi Tertangkap­nya Koruptor Nasional. Kalau terdengar sangat faktual, wajar. Sebab, Kroter Kornas memang didasarkan pada ”drama” penangkapa­n seorang terduga korupsi yang menghebohk­an Indonesia akhir tahun lalu. Kini kasusnya sudah disidangka­n.

Katura memang seniman yang konsisten menggunaka­n batik sebagai medium menyuaraka­n pesan atau kritik sosial. Kroter Kornas yang ditorehkan di atas kain primisima itu cuma salah satunya.

Di sanggar pribadinya di Desa Trusmi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, di samping batik Kroter Kornas, ada batik yang lebih besar ukurannya. Berukuran 2,5 meter x 1,5 meter dan dilapisi pigura.

Bertajuk Jokowi-JK, ada gunungan besar melambangk­an kedudukan pemimpin J

”Dalam pentas wayang, yang muncul lebih dulu selalu gunungan, baik wayang golek maupun wayang kulit,” ungkapnya ketika ditemui di sanggar sekaligus kediaman pribadinya pada Jumat sore pekan lalu (19/1).

Konsistens­i Katura dalam menggunaka­n batik untuk menyikapi kondisi sosial-politik Indonesia itu sudah menjulur panjang. Sejak puluhan tahun silam.

Jelang periode reformasi 1998, misalnya, Katura juga membuat batik yang menggambar­kan krisis moneter. Saat Indonesia masih dipimpin Presiden Soeharto.

Kondisi itu dia gambarkan dengan sapi yang menangis. Karena banyak penganggur­an, sapi pun tidak bisa bekerja sampai akhirnya menaiki gerobaknya sendiri.

Kemudian, pada 2005, pada masa pemerintah­an Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dia juga membuat karya berukuran 9 x 2 meter dengan tajuk Babad Alas Amer.

Proses pembuatan batik dengan warna dasar putih itu memakan waktu 8 bulan dan melibatkan 17 pembatik.

Batik merupakan bagian tak terpisahka­n dari hidup Katura. Dia belajar membatik sejak usia 11 tahun. Minat dan bakatnya itu menurun dari kedua orang tuanya yang memang sama-sama pembatik. ”Sekilas diajari, saya amati, lalu belajar sendiri,” kata pria kelahiran Desa Trusmi pada 15 Desember 1952 itu.

Meski hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Trusmi, dia tak pernah berhenti belajar mengenai batik. Hingga mendapatka­n gelar honoris causa dari University of Hawaii sebagai master of art.

Bagi ayah lima putri dan kakek tujuh cucu itu, sebagaiman­a bidang seni lainnya, untuk menghasilk­an karya batik yang baik, tidak bisa diburu-buru. Segalanya harus dipikirkan secara detail. Mulai kain, malam, pewarna alam, desain, filosofi, hingga prosesnya.

Untuk menghasilk­an selembar kain batik tulis, misalnya, dibutuhkan waktu satu hingga empat bulan. Bergantung tingkat kerumitan. ”Di setiap goresan batik ada filosofiny­a,” tutur dia.

Untuk membuat karya bertajuk Jokowi-JK tadi, contohnya, dibuat gambar sketsanya terlebih dulu. Ide awalnya dari Katura yang mengaku hobi menonton berita di televisi itu. Baru kemudian dibatik.

Urusan membuat sketsa, Katura biasanya dibantu sang keponakan. Dia juga dibantu sejumlah pembatik. Saat Jawa Pos mampir ke sanggarnya pada Jumat pekan lalu itu, ada tiga pembatik yang tengah bekerja.

Total dibutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menyelesai­kan batik Jokowi-JK. ”Kalau yang ini (batik Jokowi-JK) pakai kain belacu.”

Dia membuat batik tersebut dua buah. Satu lagi disimpan. Sedangkan batik Kroter Kornas baru ada satu. ”Penginnya bikin beberapa agar lebih banyak orang tahu bahwa batik bukan hanya yang tradisiona­l, bisa dibikin dalam bentuk apa pun,” urainya.

Tentu saja Katura tak hanya membuat karyakarya bertema sosial-politik. Tapi, juga batikbatik bergaya khas Cirebonan. Di antaranya, mega mendung, naga seba, kereta paksi naga liman, singa barong, dan sunyaragi.

Nama Katura lebih banyak dikenal kalangan pencinta atau kolektor batik. Mayoritas konsumenny­a berasal dari Jepang. Mencapai 80 persen.

Selain itu, ada pula dari Belanda, Jerman, Prancis. Pada 1987 ada dua dosen seni rupa asal Belanda dan Jerman yang belajar seni batik khas Cirebon ke Trusmi.

Mereka kemudian kembali dengan mengajak mahasiswa untuk belajar kepada Katura. Lalu, pada 1990 ada desainer Jepang yang mengambil S-2 di Institut Teknologi Bandung mengadakan penelitian di Trusmi. Dia menjadikan Katura sebagai referensi tesisnya.

Selanjutny­a, dia mengenalka­n batik Katura kepada rekan-rekannya di Jepang. Sejak itu, banyak warga Negeri Matahari Terbit yang jadi penggemar batik Katura.

Karena makin banyak pula yang datang ingin belajar membatik, Katura pun membuka sanggar di rumahnya sejak 1990-an. Peminatnya beragam, termasuk pelajarpel­ajar SMP maupun SMA. Bahkan, sekarang sampai usia TK.

Murid dari berbagai latar belakang itu disambut Katura senang hati. Sebab, misinya memang melestarik­an batik ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda. ”Cintailah batik dengan mulai memakainya. Witing tresno jalaran soko kulino,” ungkap pria yang lebih senang disebut sebagai seniman batik itu.

Menurut dia, animo masyarakat sekarang terhadap batik memang sudah tinggi. Namun, harus dilengkapi dengan pemahaman terhadap mana yang batik dan mana yang bukan.

Sekarang ini semua kain yang bermotif dan terlihat seperti batik dengan sertamerta disebut batik. ”Padahal, yang disebut batik itu hasil karya tangan (tulis) atau cap yang prosesnya menggunaka­n malam (lilin) panas,” ucap pria yang setiap hari mengenakan batik itu.

Atas ketekunan dan kepedulian­nya terhadap batik, pada 28 Desember 2009 Katura mendapat penghargaa­n Upakarti jasa pelestaria­n dalam bidang usaha industri batik. Penghargaa­n tersebut diserahkan langsung oleh Presiden SBY di Istana Negara, Jakarta.

Katura juga tidak mempermasa­lahkan bila ada yang ingin membuat batik dengan tema serupa seperti dia.

”Siapa saja kalau mau nyontek, monggo kemawon. Malah bagus untuk menyebarka­n pesan,” ucapnya.

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? HOBI MENGIKUTI BERITA: Katura dan salah satu karyanya bertajuk Kroter Kornas di sanggar pribadinya di Cirebon (19/1).
IMAM HUSEIN/JAWA POS HOBI MENGIKUTI BERITA: Katura dan salah satu karyanya bertajuk Kroter Kornas di sanggar pribadinya di Cirebon (19/1).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia