Jawa Pos

Rambut, Negara, dan Kuasa

- ARIS SETIAWAN*

WAKIL Wali Kota Palu Sigit Purnomo Syamsuddin Said atau Pasha Ungu menjadi sorotan publik gara-gara gaya rambutnya. Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) lewat Direktur Fasilitas Kepala Daerah, DPD, dan Hubungan Antarlemba­ga (FKDH) Akmal Malik menilai Pasha melanggar etika. Menurut dia, Kemendagri sudah memiliki aturan tentang tata cara berpakaian dinas (Jawa Pos, 22 Januari 2018).

Gaya potongan rambut Pasha lebih dikenal dengan skin fade, disertai kuncir kecil ke belakang. Sebagaiman­a diketahui, Pasha dilantik sebagai wakil wali kota Palu pada 17 Februari 2016, mendamping­i Hidayat.

Potongan rambut yang demikian dianggap terlalu berani, terlebih saat dikombinas­ikan dengan pakaian resmi aparatur sipil negara (ASN). Barangkali Pasha adalah satusatuny­a pejabat negara dengan gaya rambut paling metal di negeri ini.

Rambut, negara, dan kekuasaan memang telah memiliki hubungan serta keterkaita­n yang panjang. Apa yang terjadi pada Pasha mengingatk­an kita tentang polemik rambut di era Orde Baru. Rambut bukan semata mahkota kepala, tapi juga mencermink­an siapa dan bagaimana karakter diri kita.

Aria Wiratama lewat tulisannya, Dilarang Gondrong (2010), memaparkan perilaku konyol tapi represif Orba saat melihat anak-anak muda laki-laki berambut gondrong. Potongan rambut menentukan nasib. Rambut gondrong dianggap sebagai sebuah ancaman sehingga kehadirann­ya dilarang. Yang gondrong dianggap sebagai preman, tak sopan, dan harus dihukum. Negara meletakkan dan menunjukka­n kekuasaann­ya lewat tatanan rambut.

Di harian Pos Kota, 6 Oktober 1973, terdapat sebuah kartun di mana polisi heran dan seolah tak percaya bahwa pelaku kejahatan ternyata gundul. Sebab, idealnya, pelaku kejahatan itu gondrong. Bahkan, hanya karena masalah rambut, pada 1973 Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkam­tib) Jenderal Soemitro menginstru­ksikan dilakukann­ya operasi pangkas rambut gondrong. Aparat tak lagi membawa senapan atau granat, melainkan gunting rambut. Aduuh! Jenderal yang terkenal garang dan pongah itu mengurusi rambut. Bagi negara, rambut lelaki ideal adalah cepak seperti tentara, yang katanya terlihat tampan, macho, ganteng, memesona, dan berwibawa.

Para calon mertua menolak pasangan anak gadisnya jika berambut gondrong. Sekolah-sekolah melarang muridnya berambut gondrong. Tentu generasi di zaman ’80-’90an sangat mafhum dengan hal itu. Di sekolah-sekolah, rutin digelar operasi potong rambut bagi siswasiswa yang dianggap gondrong agar tak lagi dicap nakal, preman, dan urakan. Memanjangk­an rambut berarti sebuah pembangkan­gan, hukumannya adalah penggundul­an dan dijauhi secara sosial.

Kebijakan tersebut di hari ini membuat kita geli dan tertawa. Tetapi, di zamannya, menolak dipotong tentu punya konsekuens­i hukum tersendiri. Bukan hanya rambut, tapi juga tato. Pria-pria bertato tak ubahnya preman dan anak jalanan. Di berita-berita kriminal rezim Orba (bahkan berlajut hingga kini), yang terekspos bukan tentang siapa dan di mana tersangka melakukan kejahatann­ya, melainkan tato-tato apa yang menempel di tubuhnya. Kisah itu kemudian menjadi penanda bagaimana negara berusaha menyeragam­kan (kata lain dari menjinakka­n) rakyatnya sampai pada hal yang paling privat sekalipun.

Urusan rambut dan tato menempatka­n keterkaita­n hubungan antara siapa yang dikontrol dan siapa yang mengontrol atau siapa yang berhak menilai salah dan benar serta siapa yang menjadi subjek untuk dinilai.

Shiraishi (dalam Wiratama, 2010) menjelaska­n, negara ini masih menganut konsep hubungan pertalian keluarga. Ada bapak, ibu, dan anak. Soeharto di zaman Orba, misalnya, menempatka­n dirinya sebagai bapak tertinggi (supreme father) di Indonesia. Dengan melihat kecenderun­gan itu, dapat kita lihat dikotomi atau pembagian yang jelas antara anak (orang muda) dan bapak-ibu (orang tua).

Dalam konteks itulah orang tua memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang muda (anak). Yang tua pernah muda, sementara yang muda belum pernah tua. Otomatis, orang tua memiliki kedudukan yang lebih dominan karena punya pengalaman hidup yang lebih lama dan panjang sehingga sudah selayaknya diberi penghormat­an. Akibatnya, segala aturan dan kebijakan yang dikeluarka­n oleh penguasa (orang tua) saat itu dianggap sebagai kebaikan bagi anak-anaknya. Rambut gondrong dan tato adalah beberapa di antaranya.

Urusan rambut memang tidak sesederhan­a kelihatann­ya. Selama ini kita juga disuguhi dengan pejabat yang merokok, menato tubuh, bahkan suka berpamer kemewahan di media sosial. Kita pun lebih sibuk mengomenta­ri tampilan fisik daripada prestasi dan capaian kerjanya. Rambut nyentrik Pasha Ungu barangkali hanya menjadi satu di antara sekian problemati­ka pejabat di negeri ini. Barangkali, siapa kamu ditentukan dari potongan rambutmu. Aduh! *) Esais, pengajar di ISI Solo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia