Jawa Pos

Darurat Cabul

-

Mari kita sepakati bahwa pikiran cabul itu berbahaya. Toh ujung-ujungnya cenderung diaplikasi­kan dalam perbuatan. Tantangan kita bersama agar generasi mendatang tidak cabul sejak dalam pikiran.

Terlalu banyak kasus perbuatan cabul yang sebelumnya tidak terbayangk­an bisa terjadi. Contoh terbaru, seorang perempuan yang baru saja menjalani operasi kandungan di Surabaya menjadi korban pelecehan seksual. Pelakunya adalah seorang perawat pria. Di tempat yang semestinya seseorang mendapat perawatan ternyata malah menjadi korban.

Kisah pria dewasa yang mencabuli anak di bawah umur juga tak terbilang jumlahnya. Berita tentang kakek mencabuli cucu, bapak mencabuli anak, guru mencabuli murid, nyaris terdengar tiap hari. Sulit sekali medeteksi gejala perbuatan bejat semacam itu. Sebab, pikiran cabul telah menyebar ke berbagai ruang aktivitas masyarakat.

Hukum negara memang melarang perbuatan asusila. Tapi, tujuannya hanyalah memberikan efek jera kepada pelaku yang sudah terbukti bersalah. Itu pun tidak banyak yang jera karena hukumannya terbilang biasa. Apalagi bagi yang belum pernah dihukum dan berniat mencoba-coba.

Di saat hukum negara sulit menekan perbuatan cabul, beberapa daerah memilih konsisten menjalanka­n hukum adat. Di Aceh, misalnya, hukuman cambuk di muka umum diberikan kepada pasangan di luar pernikahan yang ketahuan berbuat mesum. Barangkali, rasa malu bisa membuat mereka lebih jera ketimbang penjara.

Di Kota Palu, Sulawesi Tengah, juga ada daerah yang menjalanka­n hukum adat terhadap pelaku tindak asusila. Mereka menerapkan hukuman

nilabu (direndam di laut) dan nipali (diusir dari kampung).

Desember tahun lalu hukuman itu dijatuhkan kepada dua pegawai bank. Lembaga adat Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, merendam pasangan mesum itu di pesisir Teluk Palu, kemudian dibawa ke perbatasan wilayah untuk diusir. Mereka tak boleh lagi tinggal di kampung yang hukum adatnya telah dilanggar.

Biarlah hukum adat semacam itu terjaga di tempatnya. Toh semangatny­a sama, menjaga masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merusak moral. Jangan pernah menganggap mereka ndeso, apalagi dengan berkedok modernisas­i dan hak asasi manusia. Toh di komunitas-komunitas adat seperti itu, moralitas masyarakat­nya memang lebih terjaga.

Di luar hukum adat, mari dukung pemerintah dalam memagari generasi muda kita dari ancaman perbuatan cabul. Blokir konten porno, hukuman kebiri, dan pasal khusus LGBT dalam KUHP sudah saatnya menjadi concern bersama. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia