Bikin Taman Baca, Tumbuhkan Sikap Kritis Anak Muda
Neni Muhidin, Pembangkit Semangat Literasi dan Petani Kopi di Sulteng
Pulang ke kampung halaman di Palu membuat Neni Muhidin bisa melakukan banyak hal. Mulai membangkitkan budaya literasi masyarakat hingga mengedukasi para petani kopi lokal.
SEORANG lelaki sibuk di meja panjang di samping rumah di ujung Jalan Tanjung Balantak, Palu. Lelaki muda itu memilah biji kopi yang disebar di tampah. Green bean yang mengalami defect dan meng- hitam disisihkannya.
Tak lama kemudian, datang seorang perempuan membantunya. Perempuan itu sebelumnya memilah-milah buku, tak jauh dari tempat si lelaki muda beraktivitas. Keduanya merupakan relawan Nemu Buku. Sebuah perpustakaan yang digagas Neni Muhidin.
Tak berapa lama kemudian, Neni Muhidin, si empunya rumah, datang dengan mengendarai motor bebek. Sempat melihat koleganya memilah kopi, dia lalu mengajak ngobrol di bagian depan rumahnya yang dipenuhi meja memanjang.
Meja-meja itu difungsikan sebagai tempat nongkrong di kedai kopinya. Sebelum kedai kopi berdiri, mejameja itu hanya jadi tempat ngobrol seputar buku dan film. Neni dan buku memang satu hal yang tak bisa dipisahkan.
Sejak 10 tahun lalu Neni mendirikan perpustakaan di rumahnya sekembali dari merantau di Tanah Pasundan, Bandung. Perpustakaan itu diberi nama Nemu Buku. Akronim dari Neni Muhidin. ’’Sekarang aktivitas kami ya buku, ya kopi,’’ ujar Neni sembari menyuguhkan secangkir kopi susu yang diseduh dengan Vietnam drip
Penulis sejumlah buku itu lantas membuka perbincangan soal perpustakaannya yang kini memiliki 5.000-an judul buku. ’’Sejak kuliah di Bandung, sebenarnya kegiatan saya ya seputar ini (perpustakaan),’’ kata alumnus hubungan internasional FISIP Universitas Pasundan itu.
Hobi mengumpulkan buku membuatnya tergerak membuat perpustakaan swadaya di Bandung. Ketika asyik dengan kegiatan literasinya di Kota Kembang tersebut, Neni diminta pulang oleh ibundanya.
Anak kedua di antara tiga bersaudara itu tentu tak bisa menolak. Sebab, tak ada saudaranya yang bisa menemani sang bunda. ’’Kebetulan, saudara-saudara saya dapat pekerjaan di luar Palu,’’ ungkapnya.
Perantauannya pun berakhir. Neni memutuskan pulang ke kota Mutiara Khatulistiwa itu dengan membawa ribuan judul buku koleksinya.
Sesampai di Palu, Neni memutuskan untuk tetap melanjutkan membuat perpustakaan swadaya. Pada 2007, Nemu Buku resmi berdiri. Lewat perpustakaan itu, Neni ingin mengembangbiakkan budaya literasi di kota kelahirannya.
’’Kata ibu, sudahlah, kau pakai saja rumah ini tidak apa-apa,’’ ungkap pria yang pernah mengambil kelas ekstensi filsafat di Universitas Parahyangan tersebut. Dan jadilah beberapa bagian rumah dijejali dengan rak-rak buku.
Neni sengaja tak terlalu mengomersialkan perpustakaannya. Mereka yang berminat menjadi anggota hanya diminta membayar Rp 50 ribu. Setelah itu, mereka bisa meminjam buku apa pun. Tapi, per minggu dibatasi dua buku.
’’Awal-awal ya berat karena banyak buku yang dipinjam, tapi tak kembali. Jadi, harus beli judul yang sama berulang-ulang,’’ ungkap pria yang produktif menulis buku dan puisi tersebut.
Berbagai cara dilakukan Neni untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, terutama anak-anak muda di Palu. Mulai rajin menggelar road show taman baca sampai nonton dan review film. ’’Seusai nobar, saya lanjutkan dengan diskusi. Lalu, mendorong anak-anak untuk menuliskannya. Saya ingin menumbuhkan sikap kritis pada mereka,’’ tuturnya.
Dari kegiatan itu, Neni sempat menyelenggarakan workshop membuat film pendek. Pembicaranya dihadirkan dari Jakarta. Beberapa film pendek dari tangan-tangan berbakat anak muda di Palu dan sekitarnya lahir dari kegiatan tersebut.
Bukan hanya itu. Sejak dua tahun lalu, Nemu Buku punya program yang diberi nama Hagala Buku. Kegiatan tersebut menjembatani para donatur buku untuk menyumbang buku di tempat-tempat terpencil. ’’Saat ini sudah ada lima taman baca. Terdapat di Kabupaten Banggai Laut, Morowali Utara, Poso, dan Sigi,’’ katanya.
Di Banggai Laut, taman baca terdapat di Pulau Labobo. ’’Di sana belum ada sinyal,’’ imbuhnya.
Di setiap taman baca, setidaknya disediakan 100–120 buku dengan jenis ensiklopedia anak dan fiksi remaja. Neni menargetkan, di setiap kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah ada tempat terpencil yang bisa didirikan taman baca lewat program Hagala Buku.
Berbagai upaya Nemu Buku memupuk semangat literasi di Sulawesi Tengah tak siasia. Pada pertengahan Januari lalu, Perpustakaan Nasional menghadiahi Nemu Buku dengan motor pustaka. Nemu Buku termasuk satu di antara 30 komunitas atau pegiat literasi yang mendapat motor tersebut.
’’Semoga motor ini bisa membuat kaki kami lebih panjang untuk menjangkau masyarakat,’’ ujar Neni.
Kini upaya Neni tak berhenti pada urusan literasi. Sejak beberapa bulan terakhir, dia punya aktivitas baru. Yakni, mengedukasi petani kopi di Sulawesi Tengah. Sekaligus mengedukasi masyarakat sekitar Palu soal ngopi. ’’Agar mereka mengenal betul asal usul kopi yang diminumnya,’’ tegas Neni.
Masyarakat Palu memang secara turuntemurun sudah punya budaya minum kopi. Warung-warung kopi sejak lama berdiri. Bahkan ada yang merupakan warisan orangorang Tionghoa yang dulu memang berbisnis kopi di Donggala, Palu, dan sekitarnya.
Budaya ngopi masyarakat Palu sama dengan kebanyakan masyarakat Melayu dan pecinan. Kedai-kedai kopi di sana menganut aliran kopitiam. Menyajikan kopi yang diseduh dengan tarikan dari teko dan saringan kain panjang.
Kedai Kopi Aweng merupakan salah satu yang terkenal. Aweng, menurut catatan Neni, adalah salah satu dinasti pengusaha kedai kopi di Sulawesi Tengah. ’’Tapi, kebanyakan masyarakat di sini belum tahu kopi yang diminumnya berasal dari mana. Asal enak dan ngumpul saja. Makanya perlu diedukasi,’’ ujarnya.
Edukasi seperti itu tentu harus dimulai dari hulu ke hilir. Hulunya tentu petani kopi. Saat ini Neni memulainya ke para petani di Poso dan Sigi.
Di Poso, dia blusukan ke kebun-kebun kopi dan tertambat di daerah Lore Timur. Tepatnya di Lembah Napu serta Bancea. Sedangkan di Sigi, dia memulainya di daerah Pipikoro, Kulawi, Matantimali, dan Palolo. Mayoritas kopi yang ditanam para petani di sana adalah robusta. Sebab, ketinggian daerah tanam kebanyakan tak lebih dari 1.200 mdpl.
Neni mulai mengedukasi petani dengan memberikan contoh. Dia membeli biji-biji kopi dari petani di sana. Biji-biji kopi itulah yang kemudian disortir, disangrai, di-packing, dan dijual dengan nama asal usulnya. Lewat cara itu, dia ingin menunjukkan bahwa kopi yang dipanen petani bisa berharga lebih tinggi ketika disortir dan diolah dengan baik.
Kebanyakan saat ini petani di daerah-daerah tersebut masih menerapkan asal panen. Tidak menganut sistem petik merah. Petik merah merupakan panen dengan cara mengambil biji kopi yang sudah merah ranum. ’’Pelanpelan kami edukasi. Mulai cara memetik, menyortir, sampai mengolahnya,’’ jelasnya.
Para petani di daerah-daerah tersebut juga baru mengenal pengolahan secara natural. Padahal, di beberapa daerah pertanian yang sudah maju, para petani sudah terbiasa mengeksplorasi cita rasa kopinya lewat pengolahan pascapanen. Ada banyak teknik pengolahan pascapanen yang bisa dilakukan petani. Antara lain, natural, full wash, semi-wash, dan hybrid.
Kopi yang dijual Neni itu diberi brand
Nosarara. Kopi tersebut di-roasting sendiri secara tradisional dengan menggunakan belanga tanah liat. Neni mengklaim kopikopi robustanya tersebut termasuk kategori fine robusta. Fine robusta merupakan kopi robusta unggulan.
’’Saya ingin kopi di sini tidak dikenal seperti bawang goreng. Tahunya bawang goreng Palu. Padahal, Palu hanya hilirnya. Tanamnya di daerah lain sekitar Palu,’’ terangnya.
Neni ingin mendorong para petani memaksimalkan penanaman dan pengolahan robusta. Sebab, untuk bersaing di penanaman dan pengolahan arabika, para petani setempat sudah tertinggal jauh dari petani di daerah lain seperti Toraja.
’’Tidak apa-apa, para petani di Sulteng ini mainnya di fine robusta saja. Saya berharap kelak orang dari daerah atau negara lain tahunya kopi Sulawesi tak hanya Toraja,’’ ujarnya. Neni dan komunitas di Palu juga sempat menggelar festival kopi untuk mengenalkan kopi-kopi dari tanah Sulawesi Tengah.