Banyuwangi Kembali Sabet Predikat Tertinggi di Indonesia
DUA tahun berturut-turut Kabupaten Banyuwangi meraih predikat A untuk evaluasi Sistem Akuntabilitas dan Kinerja Pemerintah (SAKIP). Predikat terbaik yang diberikan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) itu membuat Banyuwangi menjadi kabupaten pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menyabet nilai A.
Kemen PAN-RB menilai aparatur birokrasi di Kabupaten Banyuwangi mampu membangun kinerja yang efektif dan efisien. Dengan hasil yang berdampak nyata bagi masyarakat. Lima komponen penilaian SAKIP yang berupa perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi internal, dan capaian kinerja dapat dipenuhi dengan baik.
”Kami menilai Banyuwangi memang mampu berubah, jadi akuntabilitas bukan sekadar administratif, tapi ada dampaknya ke masyarakat, yaitu peningkatan ekonomi. Karena dalam SAKIP ini kita ukur outcomesnya, bukan cuma tertib administrasi,” papar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) Asman Abnur saat menyerahkan hasil evaluasi SAKIP kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Bali, Rabu (31/1) lalu.
Bupati Azwar Anas pun berterima kasih kepada Kemen PAN-RB atas penilaian positif terhadap kinerja akuntabilitas Banyuwangi. Anas menambahkan, kini paradigma penyelenggaraan pemerintahan harus digeser. ”Dari prinsip good governance semata, dari pelaporan administratif semata, menjadi pemerintahan yang berdampak ke publik,” ujarnya.
Menurut Anas, program pembangunan tidak dapat digarap seperti terdahulu yang hanya membagi program merata ke dinas atau badan. Yang harus dilakukan adalah terlebih dahulu menetapkan tujuan yang kemudian diterjemahkan ke program turunan.
”Yang utama itu tujuan. Kita mau apa sih ke depan untuk menjawab masalah di lapangan, outcomes-nya apa, lalu susun indikator-indikatornya. Dari situ baru bikin program. Jadi urut-urutannya seperti itu, sehingga program menjadi jelas dan berbasis kebutuhan publik,” papar Anas.
Dengan desain seperti itu, maka pengelolaan anggaran berubah dari sekadar alokasi tahunan rutin ke dinas atau badan, menjadi terintegrasi dengan perencanaan, kebutuhan masyarakat, dan indikator kinerja. ”Belanja pemerintah perlu diefektifkan karena sangat terbatas dibanding seluruh kebutuhan publik. Maka pilih yang paling berdampak ke masyarakat,” terang Anas.
Untuk itulah, pengelolaan anggaran di Banyuwangi tidak lagi menggunakan paradigma pada berapa anggaran yang disiapkan dan diserap. Namun, seberapa besar kinerja yang dihasilkan.
Anas mencontohkan program pengembangan wisata dengan penataan Pantai Watudodol di utara Banyuwangi. Tujuan dari pengembangan kawasan tersebut jelas. Yaitu mendirikan pusat pertumbuhan ekonomi baru di utara yang dekat pelabuhan penyeberangan ke Bali. Di wilayah yang memiliki problem kemiskinan. ”Kita ingin cegat arus wisatawan ke Bali yang puluhan juta setahun untuk mampir di sana, belanja menguntungkan masyarakat,” jelas Anas.
Bidang pertanian merupakan contoh lain yang fokus pada peningkatan produksi. Berbagai program bisa membuat produksi gabah kering Banyuwangi pada 2017 mencapai 817.512 ton, setara beras 512.907 ton. Sedangkan kebutuhan beras konsumsi warga hanya 152.267 ton, sehingga surplus 360.640 ton.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Suyanto Waspotondo menuturkan bahwa evaluasi SAKIP Banyuwangi terjadi peningkatan. Nilai yang diraih pada 2017; 81,26; naik dari evaluasi 2016 yang mencapai 80,16.
”Dari evaluasi Kemen PAN-RB, dijelaskan ada peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran yang selaras dengan peningkatan capaian kinerja. Selain juga kualitas pembangunan budaya kinerja birokrasi juga berjalan dengan baik, ditunjang penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi hasil juga terus menunjukkan hasil menggembirakan,” kata Yayan, sapaan akrab Suyanto Waspotondo.