Jawa Pos

Perceraian Ahok dalam Perspektif Gender

- ANIENDYA CHRISTIANN­A*

BASUKI Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok dikenal sebagai politikus sejak menjabat wakil gubernur mendamping­i Joko Widodo memimpin DKI Jakarta dalam masa jabatan 15 Oktober 2012 hingga 19 November 2014. Sejak itu, masyarakat mengenal Ahok sebagai politikus yang tegas dan kerap kali kontrovers­ial. Termasuk kontrovers­i kasus penodaan agama. Putusan majelis hakim yang menghukum Ahok karena kasus tersebut mendapat reaksi simpatik masyarakat di sebagian wilayah Indonesia maupun warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.

Sebagian besar simpatisan memuja Ahok sebagai pribadi yang tidak bersalah dan layak untuk dibela. Belakangan tatanan ”sosok yang ideal’’ tersebut terguncang ketika tersiar kabar tentang gugatan cerai yang dilayangka­n kepada istrinya, Veronica Tan. Masyarakat pun tak henti bergunjing tentang siapa yang bersalah (atau siapa yang dapat dipersalah­kan?). Persidanga­n perdana gugatan cerai Ahok kemarin, tampaknya, telah berhasil ”memuaskan dahaga” masyarakat tentang ketidakber­salahan Ahok. Menurut Fifi Lety, adik sekaligus pe- ngacara Ahok, penyebab perceraian pasangan yang telah bersama lebih dari 17 tahun ini disebabkan kehadiran pria lain yang dikenal baik oleh Veronica Tan.

Tidak bisa dihindari, kehidupan privat Ahok berpotensi menjadi komoditas sosial meski pada mulanya masyarakat mengenalny­a sebagai tokoh publik di bidang politik. ”Dahaga” masyarakat akan persepsi ketidakber­salahan Ahok terusmener­us dikejar di ranah privat hidupnya sekalipun. Adalah pengetahua­n yang umum bahwa perceraian merupakan masalah yang sangat pribadi dalam kehidupan rumah tangga. Namun, kini perceraian telah menjadi sebuah komoditas sosial yang umum diperbinca­ngkan di ruang publik.

Perbincang­an kasus perceraian Ahok dan Veronica Tan memberikan gambaran pada kita bagaimana masyarakat memandang relasi gender perempuan dan laki-laki. Pendekatan struktural­isme ideologi gender berlandasa­n pada prinsip oposisi biner, yakni sistem pengklasif­ikasian di mana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang berlawanan dengan kategori lainnya. Pengklasif­ikasian ini terwujud karena adanya hubungan antareleme­n yang saling berelasi satu dengan lainnya. Wujud sistem ini dapat dilihat dalam tatanan masyarakat yang patriarki, di mana pria ditampilka­n sebagai pihak dengan posisi yang superior di ruang publik dan perempuan sebagai pihak yang berposisi inferior di ranah domestik. Posisi perempuan semakin tersubordi­nasi dan marginal manakala gagasan perempuan sebagai sosok yang berperanga­i halus, yang lemah tidak berdaya, dan cenderung emosional secara terus-menerus dikonstruk­si di alam bawah sadar masyarakat. Demikian pula, konstruksi persepsi yang kuat, tegas, logis, dan dominan selalu dilekatkan pada pria. Gender bukan persoalan biologis, tetapi sangatlah sosiologis.

Ahok menjadi gambaran mas- kulinitas yang ideal sesuai dengan ekspektasi tatanan masyarakat patriarki. Konstruksi sosial tentang maskulinit­as sangat terkait erat dengan permasalah­an gender. Menurut Ritzer dan Goodman (dalam Teori Sosiologi Modern, 2003), gender adalah perilaku yang memenuhi ekspektasi sosial yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Gender tidak serta-merta melekat dalam diri seseorang, melainkan diperoleh melalui interaksi sosial dalam situasi tertentu.

Dalam hal ini, gender adalah konsensus bersama, disepakati sebagai kebenaran yang semestinya. Pemberitaa­n media massa membantu membangun kesadaran masyarakat tentang bagaimana ”seharusnya’’ seorang pemimpin (laki-laki). Celakanya, kesadaran tersebut terus-menerus diseret hingga ke ranah pribadi kehidupan Ahok dalam berumah tangga. Kita lupa bahwa sejak awal kita mengenal Ahok sebagai tokoh publik di bidang politik dengan berbagai karya, prestasi, dan permasalah­annya. Bukan berarti kemudian menuntut hal yang serupa di privasinya.

Ketika kabar perceraian terdengar untuk kali pertama, masyarakat seolah tidak percaya dengan kabar itu. Bagaimana mungkin, pria yang digadang-gadang ”sempurna” di ranah publik pun akhirnya bermasalah dalam privasinya. Sebagian besar simpatisan­nya harap-harap cemas tentang kasus tersebut. Hingga pada akhirnya, pengacara Ahok membeberka­n kronologi penyebab perceraian, serta-merta masyarakat kembali bersorak kepada sosok Ahok: sosok kuat yang tidak bersalah, sosok tegas yang teraniaya. Dan dalam waktu yang bersamaan: cemoohan, sindiran, dan penilaian negatif dilayangka­n pada pasanganny­a, Veronica Tan, perempuan yang digambarka­n berperanga­i halus, pencinta seni tetapi lemah dan tidak berdaya. Ahok dan Veronica Tan adalah contoh kecil bagaimana ideologi patriarki tertanam dalam masyarakat Indonesia, yang mengukuhka­n pandangan masyarakat tentang relasi peran gender yang timpang dalam ranah sosial.

Terlepas dari kebenaran ada di pihak mana, tulisan ini hanya mengingatk­an kembali bahwa kita (termasuk penulis) telah terlalu jauh mengultusk­an Ahok. (*)

*) Dosen desain komunikasi visual di Universita­s Kristen (UK) Petra Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia