Jawa Pos

Malam Jumat Legi Antre Tjiamsi

Akulturasi Tiongkok-Jawa dalam Kelenteng Sam Poo Tay Djien ”Mbah Ratu”

-

EDI SUSILO

”APA yang menurutmu aneh di kelenteng ini jika dibandingk­an dengan kelenteng lain?” tanya Go Ka Bok, sesepuh kelenteng yang berlokasi di Jalan Demak itu, kepada Jawa Pos ketika ditemui Kamis malam (1/2). Belum juga mulut saya terbuka untuk berkata, pria 82 tahun itu lantas menjawab pertanyaan­nya sendiri. ”Di sini, tidak ada patung dan ornamen naga,” ucap dia.

Yang dimaksud Go adalah patung atau ornamen naga dalam ukuran besar. Mulai pintu gerbang hingga halaman utama, tidak ada patung naga yang mencolok seperti yang terdapat pada arsitektur kelenteng pada umumnya. Naga masih hadir di kelenteng yang didirikan untuk mengenang kehebatan Laksamana Cheng Ho tersebut. Tapi tak mendominas­i.

Go mengatakan, bukti lain pengaruh budaya Jawa dalam kelenteng tersebut tampak pada langit-langit yang memiliki arsitektur mirip dengan bangunan pendapa. Lengkap dengan atap berundak tiga lapis. ”Kelenteng ini memang kental dengan nuansa Tionghoa-Jawa,” terang Go. Rasa khas Jawa, lanjut Go, juga bisa terlihat dari aktivitas kelenteng. Utamanya saat malam Jumat Legi, ketika banyak orang di luar umat Kelenteng Sam Poo Tay Djien berbondong-bondong datang

J

Mayoritas adalah orang Jawa yang masih memegang tradisi kejawen. Mereka datang untuk berdoa. Minta agar hajat yang dicita-citakan bisa terkabul.

Selain mereka yang berdoa, pada malam Jumat Legi biasanya kelenteng ramai dikunjungi orang yang ingin meramal nasib baik melalui tjiamsi. Yakni ramalan kuno Tiongkok dengan mengeluark­an sumpit dari gelas bambu. Setiap sumpit diberi nomor. Dari nomor itu, seorang sesepuh akan membacakan ramalan dalam tjiamsi. ”Kalau pas malam Jumat Legi, pengunjung tjiamsi pasti antre,” terangnya.

Saking tingginya minat pengunjung akan tjiamsi, pengurus Kelenteng Sam Poo Tay Djien menyediaka­n dua tempat tjiamsi. Tjiamsi di sebelah kanan pintu masuk secara khusus diperuntuk­an umat kelenteng. Sedangkan tjiamsi di bagian kiri diperuntuk­kan mereka di luar umat.

Akulturasi lain di kelenteng tersebut terlihat dari adanya sesaji yang berupa kembang setaman. Sesaji itu diletakkan di tengah meja persembaha­n. Tradisi bersembahy­ang dengan menggunaka­n kembang lekat dengan budaya Jawa.

Go mengatakan, kuatnya corak akulturasi tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang pendirian Kelenteng Sam Poo Tay Djien. Pada abad ke-15, masyarakat di sekitar wilayah Prapat Kurung menemukan sebongkah kayu sepanjang 9,10 meter dengan ketebalan 40 sentimeter. Konon, kayu itu didorong ke tengah laut agar tidak mengganggu aktivitas warga. Namun, kayu tersebut kembali ke tempat semula ditemukan.

Karena keanehan tertsebut, kayu itu sampai saat ini masih tersimpan rapi di Kelenteng Sam Poo Tay Djien. Warga memercayai­nya sebagai kayu aji. Kayu tersebut sakti. Bertuah. Mereka percaya bahwa kayu itu merupakan peninggala­n dari kapal Laksamana Cheng Ho atau yang dikenal sebagai Sam Poo Kong. Cheng Ho melakukan pelayaran ke berbagai negara selama 28 tahun (1405–1433) dan singgah ke beberapa wilayah di Pulau Jawa. Mulai Tanjung Priok, Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik, hingga Surabaya.

Selama singgah tersebut, Cheng Ho bersama para pengikutny­a mengajarka­n berbagai keterampil­an hidup kepada warga sekitar. Mulai cara bercocok tanam, ilmu pertukanga­n, cara beternak, hingga ilmu perikanan. Untuk mengenang jasa Cheng Ho di wilayah Prapat Kurung tersebut, dibangun sebuah gubuk. Di tempat itu pula, masyarakat Tionghoa memberikan persembaha­n dan sesaji untuk mengenang Sam Poo Tay Djien (Tuan Besar Kasim) Cheng Ho.

Gubuk tempat persembaha­n itu kemudian dipindah pada masa pemerintah­an kolonial. Tepatnya di Jalan Gresik pada 1935. Di tahun yang sama, gubuk tersebut dipindah ke Jalan Demak. Tempat kelenteng saat ini.

Jasa besar Cheng Ho yang juga dikenal sebagai pelaut ulung membuat sosok tersebut dihormati banyak orang, bukan hanya oleh umat yang beribadat di kelenteng itu. Penghormat­an tersebut, salah satunya, terlihat dari penamaan Kelenteng Mbah Ratu oleh masyarakat setempat.

Go mengatakan, Mbah Ratu merupakan nama Jawa. Nama itu dipilih agar lebih mudah diucapkan. Maklum, Cheng Ho atau Sam Poo Kong memiliki berbagai julukan.

Nah, dalam bahasa Jawa, istilah ratu merujuk pada seorang raja. Adapun sebutan mbah merujuk pada seseorang yang lebih tua atau yang dianggap besar. ”Artinya, Mbah Ratu itu merujuk pada raja yang agung. Lebih tinggi daripada jabatan seorang raja biasa,” tuturnya.

 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS ?? KHUSYUK: Umat beribadah di Kelenteng Sam Poo Tay Djien, Surabaya, kemarin (4/2). Tempat yang juga sering disebut Kelenteng Mbah Ratu itu menunjukka­n akulturasi budaya Jawa dan Tiongkok.
HANUNG HAMBARA/JAWA POS KHUSYUK: Umat beribadah di Kelenteng Sam Poo Tay Djien, Surabaya, kemarin (4/2). Tempat yang juga sering disebut Kelenteng Mbah Ratu itu menunjukka­n akulturasi budaya Jawa dan Tiongkok.
 ?? ZAIM ARMIES/JAWA POS ?? PERLU PENGEMBANG­AN: Lahan di Surabaya Barat belum banyak dimanfaatk­an.
ZAIM ARMIES/JAWA POS PERLU PENGEMBANG­AN: Lahan di Surabaya Barat belum banyak dimanfaatk­an.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia