Bila Kandidat Pilkada di Tahanan
UNTUNGLAH operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Nyono Suharli Wihandoko terjadi sebelum pemilihan bupati (pilbup). Sehingga secara tak langsung KPK ikut ’’merekomendasikan’’ siapa yang punya catatan dugaan korupsi. Mestinya ini jadi pertimbangan pemilih saat hari coblosan nanti. Nyono Suharli, bupati incumbent Jombang, yang berpasangan dengan Subaidi Muchtar memang tetap sah sebagai cabup-cawabup.
UU No 8/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang undur diri. Kalau dia mundur bisa kena pidana penjara 24–60 bulan, denda sampai Rp 25 miliar. Pimpinan parpol pengusungnya (Golkar, PKB, PAN, PKS, dan Nasdem) juga tak bisa menarik dukungan karena bisa dipidana 24–60 bulan dan didenda Rp 25 miliar sampai Rp 50 miliar. Namun, kalau maju terus, jelas bisa memengaruhi elektabilitas.
Bisa dipahami aturan itu dipasang. Yakni mencegah tipu-tipu politik. Biar tidak ada kandidat atau parpol saling ’’mengerjain’.’ Bayangkan bila setelah terdaftar resmi, parpol pendukung mundur. Atau calon kepala daerahnya yang mundur seusai dicalonkan resmi. Tentu saja ini bisa mengacau pilkada.
Tetapi kalau kandidat ’’tak hadir’’ karena ditahan, tentu ganjil. Apalagi penahanannya karena OTT. Berlaku semacam ’’praduga tampak bersalah’.’ Apakah perlu ada aturan, kalau kandidat kena OTT bisa didiskualifikasi dan diganti calonnya? Rasanya tidak perlu. Karena nanti senjata OTT bisa dipakai untuk politicking untuk jebakan menjatuhkan kandidat. Apalagi bila diiringi polemik soal netralitas aparat.
Meski begitu, tak boleh pilkada menghentikan OTT. KPK pun sepertinya makin getol menguping saat musim pilkada, musim kandidat butuh uang ini. Bila perlu gandeng Bawaslu untuk menghajar money politics yang pada hakikatnya itu korupsi politik. Jangan sampai musim pilkada justru juga musim cincai. Kalau saat mencalonkan diri saja sudah sabet sana sabet sini, pasti hanya akan menghasilkan para kleptokrat alias pejabat yang penjahat.
Tetapi, bisa saja ’’keajaiban’’ terjadi. Kandidat yang ditahan KPK menang pilkada terjadi pada 2017 lalu di Buton, Sulawesi Tenggara. Bupati
incumbent Umar Samiun yang berpasangan dengan La Bakry tetap menang pilkada. Lawan pasangan ini memang hanya kotak kosong. Setelah Umar menerima vonis 3 tahun 9 bulan penjara plus denda Rp 150 juta karena menyuap hakim konstitusi Akil Mochtar, La Bakry menunggu dilantik jadi bupati. Mari memilih dengan cerdas akal dan cerdas moral. (*)