Orang Tua Suliono Shock
SULIONO sebenarnya berasal dari keluarga sederhana yang toleran. Di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, tempat lahir Suliono, ada masjid, pura, dan gereja yang lokasinya berdekatan
Lingkungan di sana sangat menghormati perbedaan.
Orang tua Suliono, Mistaji, 57, dan Edi Susiyah, 53, begitu bersedih mendengar kabar anaknya melakukan tindakan itu. Dia menceritakan bahwa anaknya mulai berubah setelah merantau ke Sulawesi mengikuti kakaknya. Dia adalah anak ketiga di antara empat bersaudara. Kakak pertamanya, Totok Atmojo, 30, kini tinggal di Papua. Kakak keduanya, Moh. Sarkoni, 29, merantau ke Sulawesi. Sedangkan adiknya sedang nyantri di salah satu pesantren di Kecamatan Genteng, Banyuwangi.
Didampingi Forpimka Pesanggaran yang kemarin datang ke rumahnya yang sederhana, Mistaji menceritakan bahwa Suliono sebenarnya adalah anak pendiam. Tidak pernah neko-neko. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMPN 1 Pesanggaran, Suliono sempat nyantri di Pondok Pesantren Ibnu Sina. Pesantren itu binaan Ketua PC NU Banyuwangi KH Masykur Ali. ”Di Pak Masykur hanya enam bulan,” ujar Mistaji.
Setelah dari Pesantren Ibnu Sina, Suliono pindah ke rumah kakaknya, Sarkoni, di Sulawesi. Tepatnya di Desa Lantula Jaya, Kecamatan Witaponda, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Namun, di lingkungan Sarkoni yang merupakan basis NU, Suliono tidak kerasan. Dia merasa tidak cocok dengan tradisi NU yang dijalankan warga di sekitar rumah Sarkoni. ”Dia (Suliono, Red) lalu pindah ke Palu. Pengaruhnya ya di Sulawesi itu,” kata Mistaji.
Saat pulang, Suliono membikin kaget keluarganya di Banyuwangi. Pakaiannya selalu model jubah. Dia secara terbuka juga menentang kebiasaan puji-pujian menjelang salat lima waktu di musala dan masjid kampung. ”Pujian dianggap teriak-teriak dan mengganggu orang tidur,” ujar Mistaji menirukan ucapan anaknya.
Mistaji menegaskan, perubahan pada anaknya itu hanya terjadi dalam cara ibadah. Suliono tidak pernah membahas masalah lain seperti bendera atau kenegaraan. ”Saya sudah berusaha menyadarkan, tapi tidak bisa,” ungkapnya.
Setelah pulang dari Palu, Suliono lalu berpamitan kepada keluarganya untuk menuntut ilmu di salah satu pesantren di Magelang, Jawa Tengah. Di pesantren tersebut lembaga pendidikan tersedia lengkap. ”Saya belum pernah datang ke pesantren itu, tapi katanya ada sekolah umum juga,” ujarnya.