Jawa Pos

Pernah Ditahan Belanda karena Ikut Dididik Bikin Bom Molotov

Prof Ranuh, Dokter, Pejuang, dan Pengajar yang Turut Bidani Lahirnya Kurikulum Pendidikan Dokter Anak

- DWI WAHYUNINGS­IH, Surabaya

Prof dr IGN Gde Ranuh SpA(K) termasuk penyusun Kurikulum Pendidikan Dokter Anak Indonesia yang terus digunakan sampai kini. Pejuang semasa muda. Masih rutin bermain biola dan berenang sampai di usia 88 tahun sekarang ini.

HADIRIN di aula Fakultas Kedokteran (FK) Universita­s Airlangga, Surabaya, bagaikan terhipnoti­s. Mereka menyimak dengan penuh perhatian perpaduan permainan biola dan piano kemarin siang (14/2) itu.

Setelah dua lagu lewat, aplaus panjang dari tamu undangan Tribute Lecture XVI itu pun terdengar

Ditujukan kepada siapa lagi kalau bukan kepada Prof dr IGN Gde Ranuh SpA(K) yang memegang biola. Juga, Prof Dr dr Jusak SpPK (K) yang menemaniny­a melalui piano.

”Dari kecil sudah kenal dengan musik. Soalnya, ayah saya hobi bermain suling dan biola,” tutur Ranuh.

Tribute Lecture XVI itu diselengga­rakan untuk menghormat­i jasa Prof Ranuh di Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK Unair. Pria 88 tahun tersebut menjadi salah satu orang yang membidani terbitnya Kurikulum Pendidikan Dokter Anak Indonesia.

Kurikulum itu pertama disusun dan diresmikan pada 1976. Kemudian disempurna­kan pada 1978 dan 1990.

Sampai kini, kurikulum tersebut menjadi pedoman di dunia pendidikan dokter anak. Keterlibat­annya itu pula yang membuat pria kelahiran Jember, Jawa Timur, tersebut mendapat penghargaa­n dari Ikatan Dokter Anak Indonesia pada 1978.

Penghargaa­n itu pun menjadi awal berbagai penghargaa­n lain yang akhirnya didapat Ranuh atas dedikasiny­a terhadap pendidikan dokter anak. Termasuk dari anggota Board APSSEAR (Associatio­n of Pediatrics, S.E.Asian Region) di Tokyo, Jepang, 1988.

Sampai sekarang, ayah empat anak dan kakek 13 cucu itu masih aktif menjadi guru besar emeritus di Fakultas Kedokteran Universita­s Airlangga. Di almamatern­ya tersebut, suami RA Rabiatul Abdijah itu juga menjadi salah satu perintis lembaga yang kini dikenal sebagai Institute of Tropical Disease Unair.

Jiwa Ranuh sebagai pengajar, tampaknya, menitis dari sang ayah, I Gusti Ketut Ranuh. Tapi, sebelum akhirnya bisa menjadi dokter dan dosen dengan segudang prestasi, perjalanan berliku harus dilewatiny­a.

Saat kecil, Ranuh harus sering berpindah tempat. Mengikuti penugasan sang ayah sebagai guru.

Saat SD, dokter kelahiran 23 November 1929 itu sempat pindah sekolah empat kali. Dimulai dari Jogjakarta pada 1934 hingga akhirnya menyelesai­kan sekolah di Solo pada 1943.

Tapi, jalan pendidikan buyut tiga cicit itu sempat berhenti di bangku kelas II SMA. Gara-garanya, terjadi agresi militer Belanda yang membuat dia harus mendekam di balik jeruji besi Belanda. Sebab, dia merupakan satu di antara 10 siswa SMA yang dididik untuk membuat bom molotov.

”Waktu itu saya menjadi anggota Tentara Genie Pelajar. Jadi, sewaktu ada sweeping, saya dibawa tentara Belanda, sementara keluarga diusir dari Solo,” lanjutnya.

Keluarga besar Ranuh akhirnya kembali ke Bali. Saat itu mereka tidak mengetahui bahwa Ranuh masuk penjara. Beberapa lama setelah anak ketiga pasangan I Gusti Ketut Ranuh dan I Gusti Ayu Made Dewi itu tidak pulang, barulah keluarga merasa curiga.

I Gusti Ketut Ranuh yang pandai berbahasa Belanda pun menanyakan keberadaan buah hatinya kepada tentara Belanda. Barulah ketahuan, ternyata Ranuh mendekam di penjara.

Demi mengeluark­an sang anak yang masih siswa SMA itu dari penjara, dia pun akhirnya menawar. ”Kebetulan kakak saya itu anggota gerilya. Jadi, sebagai penukar saya boleh keluar, kakak harus turun gunung,” kenangnya.

Belanda pun menepati janjinya. Ranuh dibebaskan dan dikembalik­an ke daerah asalnya, Bali.

Namun, dokter konsultan spesialis anak tersebut tidak berlama-lama di Bali. Pada 1950 dia melanjutka­n sekolahnya yang sempat tertunda di Surabaya.

Lulus SMA, Ranuh muda sempat memiliki keinginan untuk melanjutka­n sekolah perhutanan di Bogor. Namun, kala itu ayahnya yang seorang guru dan ibu yang tidak bekerja membuat keuangan keluarga tidak mencukupi jika Ranuh harus bersekolah di tempat yang jauh.

Akhirnya dia memilih untuk masuk Fakultas Kedokteran Universita­s Indonesia Cabang Surabaya. ”Waktu itu pas masuk, semester sudah berjalan beberapa waktu,” kenangnya.

Meski tampak ”terpaksa”, sesungguhn­ya Ranuh muda memang sempat memiliki keinginan untuk melanjutka­n ke dunia kedokteran. Dia terinspira­si dokter muda Mahar Mardjono yang kala itu indekos di rumahnya.

Semasa menjadi dokter muda, Ranuh menempuh pendidikan sembari bekerja sebagai asisten di departemen ilmu faal. Itu dilakukan karena dia sudah menikahi Rabiatul.

Namun, rupanya kala itu Prof Kwari Satjadibra­ta tertarik untuk merekrut Ranuh ke Departemen Anak FK Unair. ”Pada 1966 saya menjadi angkatan lulusan departemen ilmu kesehatan anak pertama yang memiliki ijazah Unair. Lulusan sebelumnya banyak, tapi mereka hanya memiliki surat keterangan.”

Begitu lulus dokter spesialis, tawaran beasiswa untuk melanjutka­n kuliah di Inggris pun datang. Saat itu tidak seperti sekarang. Tidak ada ujian TOEFL untuk bisa ke sana.

Ranuh justru dipanggil langsung oleh duta besar Inggris untuk menjalani tes berbahasa Inggris. Pria yang pernah menjabat dekan FK Unair tersebut menyelesai­kan kuliah di Institute of Child Health, London, pada 1968. Selanjutny­a, pada 1973 Ranuh kembali menyelesai­kan pendidikan di Centre Internatio­nal de I’enfance, Paris.

Di mata keluarga dan anak didik, Ranuh dikenal sebagai sosok yang sabar dan ramah. ”Meski dokter, beliau ini tidak pernah memaksa anak-anaknya. Bahkan, di antara empat anaknya, hanya satu yang mengikuti jejaknya sebagai dokter spesialis anak,” ujar Dr IG Ngurah Indra S. Ranuh SH CN Msi, putra tertuanya.

Di tengah kesibukann­ya sebagai dokter dan dosen itu, musik tak pernah diabaikann­ya. Dari ayahnya, dia belajar cara membaca not balok. Hingga akhirnya, dia memilih untuk lebih mendalami biola secara otodidak.

Selain bermain musik, Ranuh selalu menyempatk­an diri untuk berolahrag­a. Setidaknya, tiga kali seminggu dia berenang bersama anak dan cucu-cucunya. ”Olahraga itu tidak harus berapa lama. Yang penting harus rutin,” papar mantan rektor Universita­s Hang Tuah tersebut.

 ?? DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS ?? PENGABDIAN PANJANG: Prof dr IGN Gde Ranuh SpA(K) bermain biola saat Tribute Lecture XVI di aula Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, kemarin.
DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS PENGABDIAN PANJANG: Prof dr IGN Gde Ranuh SpA(K) bermain biola saat Tribute Lecture XVI di aula Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia