Jawa Pos

Begal Demokrasi dari Senayan

- *) Ketua Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiy­ah

PUSAT perhatian publik mengarah ke Senayan setelah revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disahkan melalui rapat paripurna yang diwarnai walk out dua fraksi.

UU tersebut menjadi sorotan terutama lantaran tiga pasal yang ditengarai menegaskan kekuasaan yang luar biasa menggila bagi anggota dewan. Yakni tentang kewenangan pemanggila­n paksa, pasal penghinaan parlemen, dan hak imunitas.

Kewenangan memanggil paksa ada pada pasal 73. Berkat pasal tersebut, DPR berhak memanggil paksa siapa pun yang mangkir tiga kali berturuttu­rut dari panggilan parlemen. Bahkan, DPR berhak menyandera mereka yang dipanggil tersebut selama 30 hari dengan melibatkan polisi.

Entah bagaimana ceritanya pilihan DPR bisa jatuh pada diksi ’’menyandera’.’ Diksi yang terdengar horor dan jauh dari kesan positif. Kata sandera dalam KBBI bermakna: seorang yang ditawan sebagai jaminan hingga keinginan penyandera dituruti. Diksi itu dalam berbagai bentuknya selalu mengarah pada asosiasi tindakan kekerasan, bahkan kriminal.

Jika kita mengetikka­n kata kunci menyandera pada search engine semacam Google, yang muncul adalah beragam artikel beraroma kekerasan dan kriminal yang dilakukan penjahat, gangster, mafia, milisi, atau gerakan separatis.

Sementara itu, pasal 122 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap mereka yang dianggap merendahka­n kehormatan institusi maupun anggota DPR.

Kita tentu sepakat bahwa marwah serta kehormatan parlemen harus dijaga. Tak ada yang boleh merendahka­n apalagi menghina institusi maupun anggota DPR. Masalahnya, pasal tersebut berangkat dari logika bahwa seolah tinggi rendahnya kehormatan DPR ditentukan oleh opini dan kritik dari luar. Padahal, baik buruknya citra parlemen terletak pada tata laku anggota dan kualitas produk legislasi. Kritik, dalam berbagai bentuknya, hanyalah respons umpan balik dari publik yang kecewa atas kinerja parlemen.

Faktanya, sejauh ini tingkat kepercayaa­n publik terhadap DPR memang relatif rendah. DPR nyaris selalu menempati urutan buncit di belakang lembaga negara lain dalam berbagai survei untuk mengukur tingkat kepercayaa­n publik terhadap negara.

Misalnya, dalam survei yang dirilis Polling Center dan ICW pada pertengaha­n 2017, DPR bersama partai politik berada di urutan terbawah dengan tingkat kepercayaa­n hanya 51 persen. Jauh di bawah KPK yang menempati urutan teratas dengan tingkat kepercayaa­n 86 persen.

Citra pas-pasan parlemen di mata publik tersebut tentu merupakan akibat tata pikir, tutur, dan laku anggotanya yang tak jarang mengerdilk­an marwah lembaga mereka sendiri. Rentetan kasus korupsi, akrobat politik seperti yang dipertonto­nkan mantan ketuanya, dan manuver pansus adalah sederet contoh yang membuat publik geram.

Pertanyaan­nya, apakah MKD mau dan berani mengambil langkah hukum terhadap anggotanya sendiri yang perilakuny­a terang-terang telah merendahka­n kehormatan institusi parlemen tersebut? Melihat catatan kinerjanya, tak sedikit putusan MKD yang tak bertuah dan relatif mengecewak­an.

Masih segar di ingatan kita berbagai kasus anggota dewan yang sejatinya memalukan, tetapi tak dijatuhi sanksi yang memadai. Sebutlah kasus papa minta saham, kasus baku pukul anggota komisi VII, kekerasan anggota dewan kepada asisten pribadinya, dan sederet kasus lain yang menjatuhka­n marwah DPR di mata publik.

Kontrovers­i lain ada pada pasal 245 yang semakin menebalkan imunitas parlemen. Pasal itu memaksa setiap aparat yang berniat memeriksa anggota dewan dalam kasus pidana harus mendapat izin presiden dan atas pertimbang­an MKD.

Begal Demokrasi

Perpaduan imunitas, kewenangan menyandera, dan pasal antikritik itu berpotensi membuat parlemen tak ubahnya monster buas berwajah seram. Kolaborasi rupa yang menakutkan dan tabiatnya yang buas membuat mereka terasing, tak ada yang berani mendekati. Kehadirann­ya bahkan menimbulka­n ketakutan.

Padahal, sejatinya parlemen adalah lembaga perwakilan. Ia adalah pelantang suara rakyat yang tak tersurakan. Aspirasi rakyat adalah input yang menjadi basis utama kinerjanya. Sebagai lembaga perwakilan, semestinya parlemen menjaga kedekatan dan bahkan menihilkan jarak dengan rakyat yang diwakiliny­a. DPR seharusnya memasang wajah seramahram­ahnya agar rakyat leluasa tanpa sedikit pun segan untuk menyampaik­an kesah dan keluh mereka.

Namun, UU MD3 yang baru disahkan itu justru berpotensi melahirkan monster berwajah seram.

DPR tentu bisa berkilah dengan berbagai dalih canggih karena memang itu salah satu keahlian utama mereka. Namun, siapa yang bisa menjamin kewenangan-kewenangan baru tersebut tak disalahgun­akan untuk membungkam kritik?

Hanya pertimbang­an moral-etik saja yang bisa mencegahny­a. Sayang, pertimbang­an moral-etik itu telah lama tidak dijadikan parameter dalam keputusan elite kita. Tampaknya, tidak berlebihan jika banyak yang khawatir bahwa UU MD3 tersebut berpotensi melahirkan begal bagi demokrasi yang sedang kita bangun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia