Padat Karya Terbebani Upah Sektoral
Bisa Berdampak Pindah Kegiatan Produksi
SURABAYA – Pengenaan upah sektoral di tiga kota/kabupaten di Jawa Timur dinilai memberatkan pengusaha. Terutama yang berbasis padat karya. Sebab, meski telah mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum, perusahaan tetap dikenai upah sektoral tersebut.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia Jatim Winyoto Gunawan mengatakan, banyak industri padat karya di tiga kota/kabupaten tersebut, yakni Surabaya, Sidoarjo, dan Pasuruan, yang mengeluhkan pelaksanaan upah sektoral. Mereka sudah mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Namun, masih dibebani pengenaan upah sektoral .” Kalau pertumbuhan kecil daripada ekspansi, tentu malah turun,” jelasnya.
Menurut Winyoto, kebijakan tersebut sudah berimbas pada perusahaan di kawasan Sidoarjo. Apabila tidak ditangani secara serius, tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan untuk memindahkan kegiatan produksinya ke negara lain.
Sebagaimana diketahui, upah sektoral Surabaya dipatok 5 persen. Kemudian Sidoarjo 9 persen dan Kabupaten Pasuruan mengusulkan 8 persen. Tiga kota/ kabupaten itu termasuk ring I.
Sementara itu, dua daerah lain, Gresik dan Mojokerto, tidak mengusulkan adanya upah sektoral. Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha (Forkas) Jatim Nur Cahyudi mencontohkan, perusahaan yang mengajukan penangguhan ada penurunan 10 persen.
Kemudian dikenai upah sektoral 5 persen. Jadi, perusahaan tersebut masih merasakan kenaikan upah 5 persen. ”Dan, itu hanya berlaku selama enam bulan,” tandasnya.
Tahun ini pihaknya juga akan mendesain formula usulan penetapan besaran upah minimum untuk industri padat karya. ”Jadi penetapan UMK yang lebih mewakili dunia usaha,” ujar Winyoto.
Nanti dibagi tiga klasifikasi. Padat karya akan lebih rendah daripada perusahaan padat modal. ”Misalnya, kalau industri usaha kecil dan menengah cukup pakai KHL, kemudian industri padat karya sebesar 80 persen dari upah minimum, padat modal bisa pakai UMK,” jelas Winyoto.
Di sisi lain, Kepala Badan Pusat Statistik Jatim Teguh Pramono menyatakan, secara year-on-year, produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada kuartal IV 2017 tumbuh 6,4 persen. Sementara itu, industri manufaktur besar dan sedang tumbuh lebih tinggi, yakni 8,03 persen.
Kelompok industri mikro dan kecil yang mengalami kenaikan tertinggi adalah kertas serta barang dari kertas dengan pertumbuhan 41,87 persen. Kemudian, yang termasuk perusahaan padat karya seperti tekstil tumbuh 12,89 serta kulit, barang dari kulit, dan alas kaki sebesar 11,87 persen.
Untuk industri besar dan sedang, yang mencatat pertumbuhan tertinggi adalah pengolahan tembakau, yaitu 21,51 persen. Kemudian, untuk kulit, barang dari kulit, dan alas kaki sebesar 19,72 persen serta tekstil 10,45 persen. ’’Meski secara umum naik, ada beberapa kelompok industri yang turun,” katanya.