Jawa Pos

Ada Kisah Romantika Suster Ngesot

Kumpulan Pentigraf Sejarah dari Roodebrug Soerabaia

-

Merayakan Hari Kasih Sayang dengan cokelat atau bunga mungkin sudah terlalu mainstream. Komunitas Roodebrug Soerabaia memilih menghadiah­kan buku pentigraf sejarah untuk menggiatka­n literasi di Kota Pahlawan.

AKU Tak Suka Panggilan Itu. Begitulah judul tulisan tiga paragraf karya Sinung Widiyanto. Cerita itu berkisah munculnya panggilan Suster Ngesot. Panggilan tersebut digambarka­n oleh masyarakat Surabaya sebagai hantu di bekas rumah sakit yang kini menjadi pusat perbelanja­an.

Oleh Sinung, Suster Ngesot itu dibuat menjadi kisah yang menarik. Dia menceritak­an siapa sebenarnya sosok yang dijuluki Suster Ngesot tersebut sampai begitu melegenda

dan menyeramka­n melebihi kisah Valak dalam film Conjuring.

Tak ada bumbu misteri. Dia justru bercerita romantika si suster dan seorang pejuang bernama Cak Ihsan. Dijamin bulu kuduk tak akan berdiri saat membacanya. Yang ada mungkin malah baper karena mengharubi­runya kisah itu.

Sinung merupakan satu di antara 20 penulis buku pentigraf sejarah berjudul Ke Mana Perginya Para Perwira?

Buku itu ditulis anggota komunitas Roodebrug Soerabaia.Buku tersebut diluncurka­n kemarin sebagai kado Hari Kasih Sayang untuk Surabaya.

Sinung sendiri tengah berada di Negeri Sakura. Menyelesai­kan pendidikan magister tentang kebencanaa­n di Shiga, timur Kota Kyoto. Melalui komunikasi via aplikasi chatting, Sinung menjelaska­n ide membuat tulisan itu. Dia mengaku pernah mempelajar­i pengetahua­n tentang dimensi lain. ”Di dalam setiap dimensi itu histori yang bisa kita ambil sebagai data rujukan,” ujarnya.

Dia mengatakan, dalam ilmu fisika ada teori dunia paralel. Sebenarnya masyarakat di Indonesia sudah mempelajar­i itu meski belum banyak yang diabadikan dalam literatur.

Dengan begitu, teori tersebut cuma menjadi tutur tinular, mitos, atau urban legend. ”Nah, Suster Ngesot ini kan sudah menjadi urban legend di masyarakat Surabaya. Melalui pentigraf ini, saya ingin meluruskan jalan ceritanya berdasar data dan fakta sesungguhn­ya,” jelasnya.

Ide membuat kumpulan pentigraf sejarah itu datang dari salah seorang founder Rooderbrug Ady Setiawan. ”Kami ingin memberikan hadiah spesial untuk masyarakat Surabaya,” ujarnya.

Namun, Ady melihat ada satu kendala yang bakal dihadapi beberapa anggota komunitas. Yakni, mereka tidak terbiasa menulis. ”Jadi, rasanya bakal kesulitan kalau membuat tulisan panjang,” kata penulis buku Benteng-Benteng Surabaya tersebut. Anggota yang lain, Johan Pradana dan Ardi Wina Saputra, lalu mengusulka­n agar tulisan dibuat dalam format pentigraf atau biasa dikenal sebagai cerpen tiga paragraf. ”Kalau formatnya pentigraf, kan teman-teman agak terbiasa karena seperti menulis status di Facebook,” ujar Ady.

Semua sepakat membuat pentigraf. Mereka juga setuju karya sastra itu terbit tepat pada Hari Valentine. Pada November 2017, seluruh anggota dikumpulka­n di sebuah kedai kopi daerah Krukah Selatan. Mereka dibrifing cara membuat pentigraf. Pemateriny­a bergantian, Johan, Ardi, dan Ady.

Karena ini kado untuk Surabaya, disepakati bahwa tema tulisan adalah pertempura­n Surabaya yang juga dikenal sebagai pertempura­n 10 November. Sebagian besar based on the true story, meski ada juga yang inspired by true story atau malah fiksi.

Anggota Roodebrug berasal dari berbagai latar belakang profesi. Ada mahasiswa, dokter spesialis, hingga petugas keamanan. Kebanyakan di antara mereka tidak terbiasa dengan aktivitas tulis-menulis. Termasuk Rahmad Aryo Widodo, petugas keamanan di instansi pemerintah daerah Gayungan.

Aryo menyumbang tulisan

Bukan Musuh tentang dilema

arek-arek Suroboyo menghadapi tentara Gurkha. Menurut catatan sejarah, saat pertempura­n Surabaya meletus, Inggris membawa kompi pasukan elite dari Nepal, India, dan sekitarnya. Pasukan itu biasa dikenal dengan Gurkha. ”Saya dapat ide setelah membaca cerita sejarahnya,” kata penghobi diecast tersebut.

Beberapa anggota awalnya mengalami kesulitan. Namun, ketika berhasil pecah telur membuat satu karya, mereka malah produktif. Berturut-turut cerita berikutnya disetor. Ady yang bertindak sebagai kurator memilih 40 karya. Dia turut menyumbang tulisan Ke Mana Perginya Para Perwira? yang dijadikan judul buku.

Kisahnya menggambar­kan keterlibat­an jurnalis lokal dalam pertempura­n Surabaya. ”Pentigraf ini berdasar kisah nyata pengalaman Wiwik Hidayat,” ujarnya menyebut nama wartawan veteran sekaligus pelaku sejarah.

Ady berharap pentigraf sejarah itu bisa menjadi media pembelajar­an. ”Semoga bisa menumbuhka­n budaya literasi sekaligus mengajak anak-anak muda mengenali pertempura­n Surabaya,” ungkap suami dr Danti Ayu Irawati tersebut.

 ?? ROODEBRUG SOERABAIA FOR JAWA POS ?? KADO UNTUK SURABAYA: Bertepatan dengan Hari Kasih Sayang yang berlangsun­g kemarin, komunitas Roodebrug Soerabaia merilis buku kumpulan pentigraf Ke Mana Perginya Para Perwira?.
ROODEBRUG SOERABAIA FOR JAWA POS KADO UNTUK SURABAYA: Bertepatan dengan Hari Kasih Sayang yang berlangsun­g kemarin, komunitas Roodebrug Soerabaia merilis buku kumpulan pentigraf Ke Mana Perginya Para Perwira?.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia