Jawa Pos

Ditarik karena Keluhan Efek Samping

-

JAKARTA – Dalam dua tahun terakhir Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerima 38 laporan dari kalangan profesiona­l kesehatan karena efek samping obat Albothyl

Obat yang diiklankan dapat mengobati sariawan itu memiliki efek samping yang dianggap berbahaya.

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM Nurma Hidayati mengatakan bahwa per 15 Februari lalu BPOM membekukan empat obat yang diiklankan sebagai obat sariawan. Salah satunya Albothyl. ”Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresul­en concentrat­e dan digunakan untuk hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggoroka­n (THT), sariawan, gigi, dan vaginal,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (16/2). Tiga obat sariawan lainnya yang dibekukan adalah Medisio, Prescotide, dan Aptil.

Menurut dia, empat obat tersebut mengandung policresul­en yang seharusnya tidak digunakan untuk mengobati sariawan. ”Ahli kesehatan melapor kerap menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan,” ujarnya. Salah satu efek samping serius yang dilaporkan adalah sariawan yang membesar dan berlubang hingga mengakibat­kan infeksi.

Secara rutin, menurut Nurma, BPOM telah melakukan pengawasan keamanan obat beredar di Indonesia melalui sistem farmakovig­ilans. Cara tersebut seharusnya dapat dipakai untuk pendeteksi­an, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. ”Hal itu untuk memastikan bahwa obat beredar tetap memenuhi persyarata­n keamanan, kemanfaata­n, dan mutu,” katanya.

Sejauh ini, menurut Nurma, BPOM bersama ahli farmakolog­i dari kampus dan klinisi dari asosiasi profesi terkait telah mengkaji aspek keamanan obat yang mengandung policresul­en.

Hasil dari kajian tersebut, diputuskan policresul­en tidak boleh digunakan sebagai hemostatik (menghentik­an luka) dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit. Obat yang mengandung zat kimia itu juga tidak bisa digunakan untuk telinga, hidung, dan tenggoroka­n (THT), sariawan, serta gigi.

”BPOM membekukan izin edar Albothyl dalam bentuk cairan obat luar konsentrat hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui. Untuk produk sejenis akan diberlakuk­an hal yang sama.”

Pasca keputusan tersebut, PT Pharos Indonesia sebagai produsen Albothyl dan industri farmasi lain yang memegang izin edar obat mengandung policresul­en diminta untuk menarik obat dari peredaran. Waktu yang diberikan BPOM hanya sebulan sejak keputusan pemberlaku­an izin edar. ”Profesiona­l kesehatan dan masyarakat diimbau menghentik­an penggunaan obat tersebut,” ungkap Nurma.

Sementara itu, masyarakat yang terbiasa menggunaka­n obat tersebut untuk mengatasi sariawan dapat menggunaka­n obat pilihan lain yang mengandung benzydamin­e HCl. Obat sariawan lainnya yang bisa digunakan adalah yang mengandung povidone iodine 1 persen atau kombinasi dequaliniu­m chloride dan vitamin C. ”Bila sakit berlanjut, masyarakat bisa berkonsult­asi dengan dokter atau apoteker di sarana pelayanan kesehatan terdekat,” ungkap Norma.

Saat dihubungi Jawa Pos kemarin, PT Pharos Indonesia menghormat­i keputusan BPOM. Itu disampaika­n Director Corporate Communicat­ion PT Pharos Indonesia Ida Nurka. ”Penarikan produk Albothyl akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

Namun, Ida mengatakan bahwa Albothyl telah beredar di Indonesia selama 35 tahun. Lisensi dilakukan sebuah perusahaan di Jerman yang kemudian dibeli perusahaan Takeda dari Jepang. ”PT Pharos Indonesia juga menerapkan obat yang baik dalam seluruh rangkaian produksi. Mulai pengujian bahan baku hingga produk yang sudah jadi,” tuturnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia