Muncul Indikasi Laporan Fiktif
Pencocokan dan Penelitian (Coklit) Data Pemilih Jatim Diduga Bermasalah
Proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih di Jawa Timur masih mendapat sorotan. Sebagian petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) diduga bekerja asal-asalan.
KPU pusat memberikan atensi khusus pada coklit data pemilih. Sebab, tahap itu dianggap sangat krusial dalam pilkada serentak. Coklit mampu meminimalkan persoalan validitas data calon pemilih. KPU pun membuat program anyar berupa coklit serentak sejak hari pertama tahapan berjalan pada 20
Januari lalu.
Di Jatim, KPU provinsi tak kalah serius. Sebanyak
68.084 PPDP alias petugas coklit diterjunkan untuk mendata ulang sekitar 31 juta calon pemilih. Tak hanya itu, semua KPU kabupaten/kota juga diwajibkan menggelar supervisi.
Namun, kondisi di lapangan berkata lain. Saat tahapan coklit tinggal sepekan lagi, sejumlah temuan soal dugaan pelanggaran prosedur oleh PPDP muncul. Temuan itu merupakan hasil pemantauan Bawaslu Jatim serta seluruh panwaslu kabupaten/kota selama fase coklit. Tercatat ada delapan jenis pelanggaran yang diduga dilakukan para petugas di lapangan. Jumlah pelanggaran juga sangat banyak. Data terakhir, sudah tembus 3.813 temuan.
Komisioner Bawaslu Jatim Aang Kunaifi menyatakan, pihaknya sudah mengirimkan indikasi pelanggaran-pelanggaran itu ke KPU Jatim untuk ditindaklanjuti. ”Dugaan pelanggaran yang ditemukan rekan-rekan panwas berpotensi memengaruhi validitas data pemilih hasil coklit,” katanya.
Apa saja temuannya? Salah satu dugaan pelanggaran terbanyak, menurut Aang, petugas coklit tidak menempelkan stiker di rumah-rumah yang sudah dicoklit. ”Padahal, sesuai juknis, seharusnya stiker itu ditempel sebagai tanda bukti,” ujarnya.
Indikasi pelanggaran lain adalah laporan fiktif. Disebut fiktif karena laporan coklit yang dibuat petugas tidak melalui tahapan mendatangi rumah penduduk. Praktik itulah yang ditengarai menjadi pemicu banyaknya rumah warga yang belum ditempeli stiker.
Pelanggaran lain yang cukup mengejutkan adalah indikasi adanya petugas yang melimpahkan tugas coklit kepada orang lain. Kasus itu ditemukan di 19 kabupaten/kota. Temuan terbanyak terjadi di Kabupaten J ember dan Banyuwangi (selengkapnya lihat grafis). Dugaan pelanggaran tersebut cukup fatal. Sebab, hasil cok l i t rawan di soal karena petugas yang terjun tidak memiliki SK resmi.
Temuan lain adalah indikasi pelanggaran prosedur coklit. Contohnya, petugas tidak meminta kartu keluarga (KK) pemilik rumah saat proses coklit berlangsung. ”Makanya, kami minta temuan ini ditindaklanjuti. Jangan sampai ada persoalan di kemudian hari,” kata Aang.
Koordinator The Republic Institute (TRI) Sufyanto mengatakan, jika temuan itu benar-benar terjadi, data pemilih hasil coklit rawan tak valid. ”Sebab, petugas tidak terjun langsung ke rumah-rumah penduduk. Jika ini tidak dibenahi, tidak tertutup kemungkinan ada yang mempersoalkan validitas data pemilih,” ujarnya. Dari sisi keabsahan, hasil coklit juga rawan disoal. ”Sebab, petugas yang terjun tidak memiliki SK resmi. Itu bisa membuat hasil coklit dianggap tidak sah,” katanya.