AHY-Gatot Cawapres Potensial
DEKLARASI Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres PDI Perjuangan (PDIP) akan diikuti manuver partai-partai koalisi. Mereka akan berebut melakukan lobi-lobi politik untuk menawarkan jagonya sebagai cawapres.
Namun, menurut pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi, penentuan cawapres untuk Jokowi masih sangat jauh
Sebab, dengan sisa waktu lima bulan menjelang pendaftaran, dinamika politik masih sangat dinamis.
Ari menjelaskan, untuk bisa jatuh pada satu pilihan, ada sejumlah variabel yang diperhatikan. Selain mencari kecocokan dengan partai pengusung lain, kondisi sosial politik teraktual sangat berpengaruh. Misalnya, jika dirasa kebutuhannya penguatan ekonomi, akan dicari cawapres berlatar belakang ekonom. Namun, jika stabilitas keamanan menjadi kebutuhan, latar belakang militer (TNI) jadi relevan.
Khusus dalam konteks Jokowi, Ari melihat isu agama akan menjadi pertimbangan. Terlebih, saat ini pemerintahan mantan wali kota Solo tersebut diasosiasikan sebagian kalangan sebagai rezim yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, opsi memilih pendamping dari kalangan tokoh agama sangat terbuka. ”Menautkan nasionalis dengan Islam akan relevan. Kalau kita lihat, Jawa Tengah, lalu Jawa Timur, menjadi eksperimen model koalisi nasionalis religius. Jadi masih terbuka,” imbuhnya.
Namun, kader dari partai mana yang akan dipilih sampai saat ini masih belum terlihat. Bahkan, bukan hanya dari partai pendukung pemerintah, kans bagi Partai Demokrat pun masih terbuka. Dengan tingkat kompleksitas tantangan politik yang dihadapi, Ari memprediksi pendamping Jokowi akan ditentukan menjelang pendaftaran. ”Ada proses negosiasi, lobi, sampai penentuan di titik akhir yang menyempurnakan keinginan semua kalangan,” ulasnya.
Sementara itu, menurut survei Alvara Research Center, Jokowi merupakan capres yang mempunyai popularitas paling tinggi. Founder dan CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, popularitas Jokowi mencapai 98,0 persen dengan top of mind 56,4 persen.
Popularitas Prabowo Subianto berada di urutan kedua dengan persentase 94,8 persen dan top of mind 29,9 persen. Kemudian disusul Jusuf Kalla (JK) dengan 73,1 persen, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 71,9 persen, dan Anies Baswedan 64,9 persen. ”Survei itu berdasar wawancara tatap muka dengan 2.203 responden terpilih,” ujarnya saat mempresentasikan hasil survei lembaganya di Hotel Oria, Jalan KH Wahid Hasyim, kemarin.
Hasanuddin mengatakan, jika pilpres dilaksanakan hari ini, Jokowi akan meraih suara terbanyak. Menurut dia, elektabilitas Jokowi mencapai 46,1 persen, disusul Prabowo 26,5 persen, AHY 2,2 persen, dan Gatot Nurmantyo 1,4 persen. Yang belum memutuskan pilihan 15,9 persen.
Alvara juga melakukan survei cawapres yang akan mendampingi Jokowi. AHY menempati urutan pertama sebagai cawapres potensial dengan angka 17,2 persen. Disusul Gatot 15,2 persen, JK 13,1 persen, Anies 9,3 persen, dan Muhaimin Iskandar 8,9 persen. AHY juga paling dianggap sebagai tokoh muda yang layak menjadi cawapres dengan perolehan 25,7 persen, disusul Ridwan Kamil 15 persen, Anies 15, dan Muhaimin 14,2 persen.
Alvara juga menyampaikan hasil riset terkait kombinasi latar belakang capres dan cawapres yang diharapkan publik. Kombinasi paling banyak disetujui pemilih adalah sipil-militer dengan angka 93,2 persen, nasionalis-Islam 89,9 persen, dan usia tua-muda 84 persen. Hasil simulasi dengan tiga pasangan kandidat capres-cawapres menunjukkan bahwa Jokowi selalu unggul, baik saat berpasangan dengan Muhaimin, AHY, maupun Gatot.
Hasanuddin menambahkan, survei lembaganya menggunakan pendekatan riset kuantitatif. Wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner. Survei dilaksanakan mulai 17 Januari hingga 7 Februari 2018. Metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling dengan margin of error 2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel diambil di seluruh provinsi di Indonesia.
Sebelumnya beberapa lembaga survei juga melakukan riset. Salah satunya Poltracking. Lembaga itu menyebutkan, elektabilitas Jokowi sebesar 57,6 persen, Prabowo 33,7 persen, dan 8,7 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.