Niat Semakin Mantap saat Ikuti Pemilihan Duta Wisata
Andi Pranata, Penari Jatil yang Laki-Laki
Anggapan miring yang kerap muncul tidak menyurutkan niat Andi Pranata untuk menekuni tari jatil (jathil). Apalagi, konon tarian wajib dalam pergelaran reog itu dulu memang dibawakan kaum adam. Kendala regenerasi yang membuat jatilan kini didominasi perempuan.
GERAKAN Andi Pranata tampak gemulai saat membawakan tari jatil sore itu. Di satu kesempatan, pemuda 23 tahun tersebut memainkan selendang yang melilit pinggangnya.
Di saat yang lain Andi menggerakgerakkan kuda lumping yang seolah sedang ditungganginya mengikuti alunan musik pengiring. Pemandangan itu terlihat saat Andi tampil bersama grup Reog Sepuh yang terbentuk awal 2017.
”Kata mbah-mbah, dulu jatil awalnya memang ditarikan pria. Tapi, karena sulit mencari penerus, akhirnya terjadi pergeseran dari penari pria ke wanita,” terang Andi.
Warga Desa Bedingin, Kecamatan Sambit, itu mulai mempelajari jatilan lima tahun silam. Bermula dari perbincangan dengan sejumlah pelaku seni veteran. ”Sejak kecil saya sudah ikut paguyuban reog, tapi sebagai penari ganong atau warok,” jelasnya.
Lama berkecimpung di paguyuban reog membuat Andi mengetahui bahwa konon pada masa lampau jatilan ditarikan kaum pria. Dari situ dia lantas mencoba menelisik kebenaran cerita tersebut. Berbagai sumber pun didatanginya. ”Jatil itu menggambarkan seorang prajurit laki-laki,” ujar sulung dua bersaudara pasangan Purwanto dan Paini tersebut.
Pergeseran penari jatil dari lakilaki ke perempuan terjadi lantaran sulitnya mencari penerus. Padahal, jatilan tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah pergelaran seni reog. ”Salah satu faktornya karena cap banci sehingga merasa malu. Tapi, itu kan budaya kita, kenapa harus malu?” tuturnya.
Niat Andi menekuni jatilan semakin mantap saat mengikuti ajang pemilihan duta wisata Ponorogo kala masih duduk di bangku SMA. Dia membawakan tarian itu saat seleksi bakat. ”Di daerah saya sebenarnya banyak penari jatil laki-laki, tapi sudah tidak aktif,” ungkap mahasiswa Seni Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tersebut.
Andi lalu menyampaikan niatnya untuk menggerakkan kembali para pelaku jatilan pria ke pihak desa. Ide tersebut disambut baik hingga beberapa pelaku seni yang sudah tidak muda bergabung dalam sebuah grup reog bentukannya. Di paguyuban tersebut Andi didapuk sebagai penari jatil bersama sejumlah seniornya. Pergelaran pun beberapa kali berhasil dilaksanakan. ”Saya akui memang susah mencari penerus,” ungkap Andi.
Predikat banci pun kerap mampir kepadanya lantaran menekuni jatilan. Namun, Andi tidak memedulikannya. Tekad untuk melestarikan budaya jauh lebih kuat ketimbang sekadar larut dalam anggapan miring segelintir orang. ”Yang pasti, jatil pria itu bukan banci. Saya juga punya pacar cewek,” tegasnya.