Jawa Pos

IABADIKKAN YANG HAMPIR PUNAH

-

Dewi Tandjung bersama teman-teman sesama penghobi travel photograph­y memotret kehidupan suku Dayak Iban di Kapit. Sebelum mereka benar-benar tinggal kenangan.

ADA alasan menyambang­i suku Dayak Iban. Suku itu merupakan salah satu suku Dayak terkuat yang hampir punah. Mayoritas suku Dayak Iban menyebar di Sarawak, Malaysia, dan Kalimantan Barat, Indonesia.

Pada zaman dahulu, suku Dayak Iban dipercaya sebagai suku yang suka memenggal kepala musuhnya. Kemudian, kepala tersebut digantung di dalam rumah mereka yang disebut long house (rumah panjang). Setiap kali memenggal kepala musuh, mereka memberi tanda sebuah tato garis coretan di leher. Oleh karena itu, tato merupakan lambang kekuatan mereka.

Orang tua laki-laki di suku Dayak Iban dipanggil dengan sebutan Apai. Mereka masih memakai tato di seluruh badan. Tetapi, anak-anak mudanya sudah tidak bertato lagi.

Di daerah Kapit, Sibu, Sarawak, ada satu long house yang berusia 150 tahun. Itulah satu-satunya rumah panjang yang belum dipugar. Tentu di dalamnya masih tergantung tengkorak kepala-kepala manusia yang dipenggal pada zaman dahulu.

Untuk menuju Kapit, kita harus terbang dulu menuju Sibu dari Kuala Lumpur, Malaysia, sekitar dua jam. Sibu termasuk kota terbesar keempat di Sarawak setelah Kuching, Miri, dan Bintulu. Dari Sibu, pengunjung harus naik kapal sekitar tiga jam menuju Kapit.

Daerah perkotaan Kapit hanya di sekeliling area pelabuhan. Ada beberapa losmen kecil, depot, ruko-ruko, dan pasar. Di luar area pelabuhan masih banyak hutan. Dari tempat menginap menuju tempat pemotretan, kami menempuh perjalanan 1,5 jam. Setelah itu, kami masih harus berjalan kaki sekitar 30 menit masuk ke hutan menyusuri sungai dangkal, berbatu, dan berpasir.

Tempat pemotretan itu merupakan kampung halaman salah seorang senior suku Dayak Iban yang kami sapa Apai Igo. Di tempat tersebut kami akan memotret setting kehidupan suku Dayak Iban.

Warga di sini mayoritas beragama Kristen, namun mereka tetap menjunjung tinggi kebudayaan Iban. Termasuk berbagai upacara adat dan pemujaan roh. Ada juga yang masih menganut kepercayaa­n animisme.

Keseharian mereka berhubunga­n erat dengan seni. Baik seni musik, tari, maupun seni tenun. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Iban.

Tempat yang saya kunjungi kali ini memang sangat terpencil dan masuk ke pedalaman. Meski demikian, itu adalah pengalaman yang sangat mengesanka­n dan tak terlupakan dalam hidup saya. Bisa merasakan dan melihat dari dekat kehidupan suku Dayak Iban yang hampir punah merupakan kesempatan yang sangat berharga. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia