Jawa Pos

Sejak SD, Pencabul Siswa Jadi Korban

Pelakunya Saudara hingga Guru

-

SURABAYA – M. Saebatul Hamdi, guru yang mencabuli muridnya, ternyata punya masa lalu kelam. Dia menjadi korban pencabulan sejak duduk di bangku SD hingga SMA. Pengalaman masa lampau itulah yang membuatnya terdorong melakukan tindakan asusila kepada 65 muridnya.

Hamdi blak-blakan menceritak­an masa lalunya kemarin (23/2). Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, itu dengan gamblang menyebut bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual sejak kecil. ”Waktu itu masih umur 8 tahun,” ujarnya dengan suara berat.

Ketika itu, dia mengaku sering bermain dengan seorang sepupunya berinisial DD. Umur keduanya berjarak sepuluh tahun. Saking intimnya hubungan keduanya, dia mengaku sering diciumi.

Sampai DD mulai meremas-remas kemaluanny­a. Hal tersebut tidak terjadi satu atau dua kali. Karena terlalu sering, dia memilih menghindar

Tidak lagi bermain dengan sepupunya itu.

Hidupnya pun sempat tenang beberapa tahun. Sampai dia menginjakk­an kaki di madrasah tsanawiyah di daerah Cimahi. Jauh dari rumah membuatnya kurang teman. Apalagi, tipikalnya memang cenderung pendiam. Sampai suatu ketika, masih di kelas VII, dia dikenalkan pada seorang guru kesenian. ”Saya lupa namanya. Hanya, dia mengajar di SMP Negeri,” ingatnya.

Hubungan mereka terjalin baik. Pria berambut tipis itu kemudian diajak ke rumah guru tersebut sekadar untuk bermain-main. Sejak itu, Hamdi mengaku sering diberi uang jajan. Karena kondisi keluargany­a memang pas-pasan, dia mengaku senang dan menerimany­a. Memang sebelum itu, ibunya meninggal dunia. Ayahnya menikah lagi. Broken home? Tidak. Tapi, kondisi tersebut cukup mengganggu kondisi kejiwaanny­a. ”Sebagai imbalannya, saya diminta tidur di rumahnya,” beber anak ketiga di antara enam bersaudara itu.

Namun, ada udang di balik batu. Saat sedang tidur, dia kaget karena kemaluanny­a sedang dipermaink­an oleh gurunya. Dia mengaku tidak punya daya dan keberanian untuk melawan. Dia pun lebih memilih diam.

Kejadian itu terulang lagi saat dia masuk kelas XI madrasah aliyah. Saat itu, umurnya sekitar 17 tahun. Dia masih ingat betul, suatu pagi setelah mengikuti kajian subuh, dia terlelap karena lelah. Posisinya terlentang masih mengenakan sarung. Tak disangka, adik kelasnya yang masih duduk di kelas VII madrasah tsanawiyah memelorotk­an celananya. ”Kemaluan saya dimainkan,” terang pria 28 tahun itu. Sekali lagi, meski dikerjai oleh anak yang lebih kecil, dia tidak melawan atau membalas.

Sejak saat itu, timbul keinginan melakukan hal yang sama, seperti orang lain memperlaku­kannya. Saat kuliah hingga awal menjadi pengajar, dia mengaku sudah punya keinginan. Bapak dua anak tersebut mengaku hanya tertarik pada anak laki-laki. ”Tapi, tidak pernah ada kesempatan,” ujar Direktur Kriminal Umum Polda Jatim Kombespol Agung Yudha Wibowo.

Baru saat menjadi pendidik, dia punya kesempatan untuk memuaskan hasratnya. Hal itulah, lanjut Agung, yang dikhawatir­kan pihaknya. Perilaku menyimpang yang dilakukan Hamdi berpotensi untuk membentuk predator-predator baru. ”Mayoritas predator itu disebabkan sebelumnya pernah jadi korban kekerasan seksual,” urai pria dengan tiga melati di pundaknya itu.(aji/c6/eko)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia