Tetap Baca Buku supaya kalau Ditanya Tahu
Prof Soebandiri Masih Aktif Mengajar di Usia 85 Tahun
Bagi Prof Soebandiri SpPD K-HOM, keinginannya pada hari tua tidak mulukmuluk. Dia ingin bisa terus menyumbangkan ilmu dan menghasilkan dokter yang pintar. Semangatnya untuk mengajar tetap terjaga.
JAM menunjukkan pukul 12.34. Hari Minggu. Pada saat orang lain menggunakan waktu tersebut untuk istirahat, Prof Soebandiri SpPD K-HOM punya kegiatan lain. Mengenakan kaus putih polos, dia asyik membaca buku teks. Latest Updated Review About Hematology judulnya.
Di tangan kanannya, tersedia secarik kertas dan pulpen dua warna. Merah dan hitam. Sesekali, profesor 85 tahun itu menggarisbawahi tulisan yang perlu. Dia juga menuliskan catatan untuk pembahasan yang dirasa penting.
”Ini untuk mengikuti perkemba- ngan,” ucap alumnus 1961 Kedokteran Universitas Indonesia Cabang Surabaya (sekarang Unair) itu saat ditanya mengenai kegemarannya membaca. Meski sudah pensiun, bukan berarti harus berhenti belajar.
Bagi Soebandiri, mengikuti perkembangan dunia kedokteran, khususnya hematologi dan onkologi, adalah keharusan. Apalagi mengingat posisinya saat ini. Suami Soepartini itu menjabat penasihat di beberapa lembaga. Mulai RSUD dr Soetomo, Yayasan Kanker Wisnuwardhana, hingga penasihat dokter-dokter di RSAL
J
”Kalau ditanya, harus tahu jawabannya,” terang kakek empat cucu itu.
Tidak hanya itu, Soebandiri juga masih aktif mengajar. Di antaranya, di Universitas Airlangga, Universitas Hang Tuah, dan Universitas Wijaya Kusuma. Meski bukan dosen tetap, ilmunya terus bermanfaat bagi dunia kedokteran. Khususnya bidang ilmu penyakit dalam.
Mengajar sudah menjadi bagian hidup yang tak dapat dipisahkan dari Prof Soebandiri. Aktivitas tersebut dilakukannya sejak masih duduk di bangku kuliah. Awalnya, dia melakukan hal itu untuk mendapatkan tambahan biaya kuliah. Apalagi, saat itu sang ayah sudah wafat.
Setelah lulus kuliah, Soebandiri ditarik sebagai pegawai kampus. Kemudian pada 1962, dia mendapatkan gelar spesialis penyakit dalam. Pada waktu itu, dia khusus menangani bagian darah atau secara keilmuan disebut hematologi.
Empat tahun setelah itu, muncul ilmu baru di Indonesia. Yakni, onkologi yang khusus menangani kanker. Soebandiri ikut terjun di dalamnya. Dia menjadi salah seorang anggota tim onkologi medik pertama di Surabaya. Posisinya sekretaris.
Rupanya, keikutsertaan itu membawa jalan yang lebih panjang bagi Soebandiri. Pada 1968, dia mendapatkan tawaran dari American Cancer Society untuk menjalani pendidikan selama satu bulan di Amerika Serikat. ”Dari Indonesia dipilih enam orang. Tiga di antaranya dari Surabaya,” kenang guru besar ilmu penyakit dalam hematologi dan onkologi medis bagian penyakit dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo itu.
Di sana, dia bersama 49 orang lainnya dari berbagai negara mendapat beragam ilmu tentang kanker. Sepulang dari Amerika, dia bersama rekan-rekan dokter lainnya mendirikan Yayasan Kanker Wisnuwardhana. Yakni, gerakan non pro fit untuk menyosial isa s ikan penyakit kanker kepada masyarakat. Saat ini lokasinya berada di Kayoon.
Tak lama setelah itu, dia kembali mendapat tawaran untuk memperdalam onkologi medik dari Nederlands Kanker Instituut, Belanda. Di sana, dia mempelajari seluk-beluk kanker di Antoni Van Leeuwenhoek Ziekenhuiz, Amsterdam, selama satu tahun.
Pada 2003, pria yang meraih gelar profesor pada 1998 itu pensiun. Tugas praktik di beberapa rumah sakit Surabaya tak lagi dijalani. Begitu pula praktiknya di rumah. Tapi, dia masih mengajar.
Ketimbang naik kendaraan pribadi, Soebandiri lebih suka naik angkutan umum. Tetapi, bukan yang berbasis online. Dia lebih suka yang konvensional. ”Kalau semua naik online, nanti tidak ada yang naik angkot. Mending saya naiki,” ungkapnya.
Untuk menjaga kesehatan, bapak empat anak itu tidak mempunyai cara khusus. Hanya makan teratur dengan porsi yang cukup. ”Makan untuk hidup. Jangan hidup untuk makan,” ucapnya.
Soebandiri merasa beruntung lantaran teman-teman sesama dokter sering mengingatkan. ”Terutama untuk tidak menyetir sendiri,” imbuhnya.